JENIS JENIS IDEOLOGI PANCASILA.



JENIS JENIS IDEOLOGI PANCASILA.
Hasil gambar untuk jenis ideologi didunia


A. Pancasila dan Liberalisme
Hasil gambar untuk ideologi liberalisme
Periode 1950-1959 disebut periode pemerintahan demokrasi liberal. Sistem parlementer dengan banyak partai politik memberi nuansa baru sebagaimana terjadi di dunia Barat. Ketidakpuasan dan gerakan kedaerahan cukup kuat pada periode ini, seperti PRRI dan Permesta pada tahun 1957 (Bourchier dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 40). Keadaan tersebut mengakibatkan perubahan yang begitu signifikan dalam kehidupan bernegara.
Pada 1950-1960 partai-partai Islam sebagai hasil pemilihan umum 1955 muncul sebagai kekuatan Islam, yaitu Masyumi, NU dan PSII, yang sebenarnya merupakan kekuatan Islam di Parlemen tetapi tidak dimanfaatkan dalam bentuk koalisi. Meski PKI menduduki empat besar bahwa negara liberal memberi kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Namun dalam Negara liberal diberikan kebebasan untuk tidak percaya terhadap Tuhan atau atheis, bahkan negara liberal memberi kebebasan warganya untuk menilai dan mengkritik agama. Berdasarkan pandangan tersebut, hampir dapat dipastikan bahwa sistem negara liberal
membedakan dan memisahkan antara negara dan agama atau bersifat sekuler (Kaelan, 2000: 231). Berbeda dengan Pancasila, dengan rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa telah
memberikan sifat yang khas kepada negara Indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisah-misahkan agama dengan negara (Kaelan, 2000: 220).
Tentang rahasia negara-negara liberal, Soerjono Poespowardojo mengatakan bahwa kekuatan liberalism terletak dalam menampilkan individu yang memiliki
martabat transenden dan bermodalkan kebendaan pribadi. Sedangkan kelemahannya terletak dalam pengingkaran terhadap dimensi sosialnya sehingga tersingkir tanggung
jawab pribadi terhadap kepentingan umum (Soeprapto dalam Nurdin, 2002: 40-41). Karena alasan-alasan seperti Itulah antara lain kenapa Indonesia tidak cocok menggunakan ideologi liberalisme.


B. Pancasila dan Komunisme
Hasil gambar untuk ideologi komunisme
Dalam periode 1945-1950 kedudukan Pancasila
sebagai dasar negara sudah kuat. Namun, ada berbagai
faktor internal dan eksternal yang memberi nuansa
tersendiri terhadap kedudukan Pancasila. Faktor eksternal
mendorong bangsa Indonesia untuk menfokuskan diri
terhadap agresi asing apakah pihak Sekutu atau NICA yang
merasa masih memiliki Indonesia sebagai jajahannya. Di
pihak lain, terjadi pergumulan yang secara internal sudah
dalam Pemilu 1955, tetapi secara ideologis belum merapat
pada pemerintah. Mengenai Pancasila itu dalam posisi yang
tidak ada perubahan, artinya Pancasila adalah dasar negara
Republik Indonesia meski dengan konstitusi 1950 (Feith
dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 40).
Indonesia tidak menerima liberalisme dikarenakan
individualisme Barat yang mengutamakan kebebasan
makhluknya, sedangkan paham integralistik yang kita anut
memandang manusia sebagai individu dan sekaligus juga
makhluk sosial (Alfian dalam Oesman dan Alfian, 1990:
201). Negara demokrasi model Barat lazimnya bersifat
sekuler, dan hal ini tidak dikehendaki oleh segenap elemen
bangsa Indonesia (Kaelan, 2012: 254). Hal tersebut
diperkuat dengan pendapat Kaelan yang menyebutkan
merongrong Pancasila sebagai dasar negara, untuk
diarahkan ke ideologi tertentu, yaitu gerakan DI/TII yang
akan mengubah Republik Indonesia menjadi negara Islam
dan Pemberontakan PKI yang ingin mengubah RI menjadi
negara komunis (Marwati Djoned Poesponegoro dan
Nugroho Notosusanto, 1982/83 kemudian dikutip oleh
Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 39).
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD
1945, berarti kembali ke Pancasila. Pada suatu kesempatan,
Dr. Johanes Leimena pernah mengatakan, “Salah satu faktor
lain yang selalu dipandang sebagai sumber krisis yang
paling berbahaya adalah komunisme. Dalam situasi di mana
kemiskinan memegang peranan dan dalam hal satu
golongan saja menikmati kekayaan alam, komunisme dapat
diterima dan mendapat tempat yang subur di tengahtengah
masyarakat”. Oleh karena itu, menurut Dr. Johanes
Leimena, harus ada usaha-usaha yang lebih keras untuk
meningkatkan kemakmuran di daerah pedesaan. Cara lain
untuk memberantas komunisme ialah mempelajari dengan
seksama ajaran-ajaran komunisme itu. Mempelajari ajaran
itu agar tidak mudah dijebak oleh rayuan-rayuan
komunisme. Bagi orang Kristen, ajaran komunisme bisa
menyesatkan karena bertentangan dengan ajaran Kristus
dan falsafah Pancasila (Pieris, 2004: 212).
Komunisme tidak pernah diterima dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan negara
komunisme lazimnya bersifat atheis yang menolak agama
dalam suatu Negara. Sedangkan Indonesia sebagai negara
yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan
pilihan kreatif dan merupakan proses elektis inkorporatif.
Artinya pilihan negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah khas dan nampaknya sesuai dengan
kondisi objektif bangsa Indonesia (Kelan, 2012: 254-255).
Selain itu, ideologi komunis juga tidak menghormati
manusia sebagai makhluk individu. Prestasi dan hak milik
individu tidak diakui. Ideologi komunis bersifat totaliter,
karena tidak membuka pintu sedikit pun terhadap alam
pikiran lain. Ideologi semacam ini bersifat otoriter dengan
menuntut penganutnya bersikap dogmatis, suatu ideologi
yang bersifat tertutup. Berbeda dengan Pancasila yang
bersifat terbuka, Pancasila memberikan kemungkinan dan
bahkan menuntut sikap kritis dan rasional. Pancasila
bersifat dinamis, yang mampu memberikan jawaban atas
tantangan yang berbeda-beda dalam zaman sekarang
(Poespowardojo, 1989: 203-204).
Pelarangan penyebaran ideologi komunis ditegaskan
dalam Tap MPR No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran
PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis
Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk
menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran
komunisme/marxisme dan leninisme yang diperkuat
dengan Tap MPR No. IX/MPR/1978 dan Tap MPR No
VIII/MPR/1983.


C. Pancasila dan Agama

Pancasila yang di dalamnya terkandung dasar
filsafat hubungan negara dan agama merupakan karya
besar bangsa Indonesia melalui The Founding Fathers
Negara Republik Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri
negara yang tertuang dalam Pancasila merupakan karya
khas yang secara antropologis merupakan local genius
bangsa Indonesia (Ayathrohaedi dalam Kaelan, 2012).
Begitu pentingnya memantapkan kedudukan Pancasila,
maka Pancasila pun mengisyaratkan bahwa kesadaran
akan adanya Tuhan milik semua orang dan berbagai agama.
Tuhan menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa,
yang tak terbagi, yang maknanya sejalan dengan
agama Islam, Kristen, Budha, Hindu dan bahkan juga
Animisme (Chaidar, 1998: 36).
Menurut Notonegoro (dalam Kaelan, 2012: 47), asal
mula Pancasila secara langsung salah satunya asal mula
bahan (Kausa Materialis) yang menyatakan bahwa “bangsa
Indonesia adalah sebagai asal dari nilai-nilai Panasila,
…yang digali dari bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai
adat-istiadat kebudayaan serta nilai-nilai religius yang
terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia”.
Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang
(kemerdekaan) negara Indonesia, masyarakat Nusantara
telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal,
(sekitar) 14 abad pengaruh Hinduisme dan Budhisme,
(sekitar) 7 abad pengaruh Islam, dan (sekitar) 4 abad
pengaruh Kristen (Latif, 2011: 57). Dalam buku Sutasoma
karangan Empu Tantular dijumpai kalimat yang kemudian
dikenal Bhinneka Tunggal Ika. Sebenarnya kalimat tersebut
secara lengkap berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna
Dharma Mangrua, artinya walaupun berbeda, satu jua
adanya, sebab tidak ada agama yang mempunyai tujuan
yang berbeda (Hartono, 1992: 5).
Kuatnya faham keagamaan dalam formasi kebangsaan
Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tidak dapat
membayangkan ruang publik hampa Tuhan. Sejak dekade
1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai
komunitas politik bersama, mengatasi komunitas kultural
dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas
dari Ketuhanan (Latif, 2011: 67). Secara lengkap
pentingnya dasar Ketuhanan ketika dirumuskan oleh
founding fathers negara kita dapat dibaca pada pidato Ir.
Soekarno pada 1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai
dasar negara (philosophische grondslag) yang menyatakan,
“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia
ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan
menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam
menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w, orang
Budha menjalankan ibadatnya menurut kitabkitab
yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara
Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya
dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa.
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan. Secara
kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”.
Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara
yang ber-Tuhan” (Zoelva, 2012).
Pernyataan ini mengandung dua arti pokok. Pertama
pengakuan akan eksistensi agama-agama di Indonesia
yang, menurut Ir. Soekarno, “mendapat tempat yang
sebaik-baiknya”. Kedua, posisi negara terhadap agama, Ir.
Soekarno menegaskan bahwa “negara kita akan ber-
Tuhan”. Bahkan dalam bagian akhir pidatonya, Ir. Soekarno
mengatakan, “Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudarasaudara
menyetujui bahwa Indonesia berasaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini relevan dengan ayat (1)
dan (2) Pasal 29 UUD 1945 (Ali, 2009: 118).
Jelaslah bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran tauhid
dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama
Pancasila yang merupakan prima causa atau sebab pertama
itu (meskipun istilah prima causa tidak selalu tepat, sebab
Tuhan terus-menerus mengurus makhluknya), sejalan
dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran
tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al, dalam pengertian
 bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya.
Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di
Indonesia (Thalib dan Awwas, 1999: 63).
Prinsip ke-Tuhanan Ir. Soekarno itu didapat dari -
atau sekurang-kurangnya diilhami oleh uraian-uraian dari
para pemimpin Islam yang berbicara mendahului Ir.
Soekarno dalam Badan Penyelidik itu, dikuatkan dengan
keterangan Mohamad Roem. Pemimpin Masyumi yang
terkenal ini menerangkan bahwa dalam Badan Penyelidik
itu Ir. Soekarno merupakan pembicara terakhir; dan
membaca pidatonya orang mendapat kesan bahwa pikiranpikiran
para anggota yang berbicara sebelumnya telah
tercakup di dalam pidatonya itu, dan dengan sendirinya
perhatian tertuju kepada (pidato) yang terpenting.
Komentar Roem, “Pidato penutup yang bersifat
menghimpun pidato-pidato yang telah diucapkan
sebelumnya” (Thalib dan Awwas, 1999: 63).
Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung
makna bahwa manusia Indonesia harus mengabdi kepada
satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan mengalahkan
ilah-ilah atau Tuhan-Tuhan lain yang bisa
mempersekutukannya. Dalam bahasa formal yang telah
disepakati bersama sebagai perjanjian bangsa sama
maknanya dengan kalimat “Tiada Tuhan selain Tuhan Yang
Maha Esa”. Di mana pengertian arti kata Tuhan adalah
sesuatu yang kita taati perintahnya dan kehendaknya.
Prinsip dasar pengabdian adalah tidak boleh punya dua
tuan, hanya satu tuannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi
itulah yang menjadi misi utama tugas para pengemban
risalah untuk mengajak manusia mengabdi kepada satu
Tuan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Kitab Ulangan 6:4-5,
Matius 6:24, Lukas 16: 13, Quran surat: Al Mu’minun [23]:
23 dan 32.

Pada saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan
agama dari negara didefinisikan melalui Pancasila. Ini
penting untuk dicatat karena Pancasila tidak memasukkan
kata sekularisme yang secara jelas menyerukan untuk
memisahkan agama dan politik atau menegaskan bahwa
negara harus tidak memiliki agama. Akan tetapi, hal-hal
tersebut terlihat dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui
satu agama pun sebagai agama yang diistimewakan
kedudukannya oleh negara dan dari komitmennya
terhadap masyarakat yang plural dan egaliter. Namun,
dengan hanya mengakui lima agama (sekarang menjadi 6
agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu,
Budha dan Konghucu) secara resmi, negara Indonesia
membatasi pilihan identitas keagamaan yang bisa dimiliki
oleh warga negara. Pandangan yang dominan terhadap
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia secara jelas
menyebutkan tempat bagi orang yang menganut agama
tersebut, tetapi tidak bagi mereka yang tidak menganutnya.
Pemahaman ini juga memasukkan kalangan sekuler yang
menganut agama tersebut, tapi tidak memasukkan
kalangan sekuler yang tidak menganutnya. Seperti yang
telah ditelaah Madjid, meskipun Pancasila berfungsi
sebagai kerangka yang mengatur masyarakat di tingkat
nasional maupun lokal, sebagai individu orang Indonesia
bisa dan bahkan didorong untuk memiliki pandangan hidup
personal yang berdasarkan agama (An-Na’im, 2007: 439).
Gagasan asas tunggal menimbulkan pro dan kontra
selama tiga tahun diundangkan dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
yang mengharuskan mendaftar ulang bagi semua ORMAS
dan sekaligus mengharuskan semua ORMAS menerima asas
tunggal yang diberi batas akhir sampai tanggal 17 Juli 1987.
Golongan yang kontra bukan menolak Pancasila dan UUD
1945, melainkan ada kekhawatiran bahwa dengan
menghapuskan asas “Islam”, Pancasila akan menjadi
“agama baru” (Moesa, 2007: 123-124). Dalam
perkembangannya, kyai yang tergabung dalam organisasi
NU yang pertama kali menerima Pancasila sebagai Asas
Tunggal. KH. As’ad Syamsul Arifin menegaskan bahwa
sebagian besar kyai dan umat Islam Indonesia berpendapat
bahwa menerima Pancasila hukumnya wajib (Moesa, 2007:
124) .
Dalam hubungan antara agama Islam dan Pancasila,
keduanya dapat berjalan saling menunjang dan saling
mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak
boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah satu
dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain.
Selanjutnya Kiai Achamd Siddiq menyatakan bahwa salah
satu hambatan utama bagi proporsionalisasi ini berwujud
hambatan psikologis, yaitu kecurigaan dan kekhawatiran
yang datang dari dua arah (Zada dan Sjadzili (ed), 2010:
79).
Pancasila menjamin umat beragama dalam
menjalankan ibadahnya. Dalam kalimat Menteri Agama
(1983-1993), H. Munawir Sjadzali menyatakan,
“Kata-kata ‘negara menjamin’ tidak dapat
diartikan sekuler karena apabila demikian,
negara atau pemerintah harus hands off dari
segala pengaturan kebutuhan hukum bagi para
pemeluk agama/kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Di negara sekuler Pemerintah
tidak akan mendirikan tempat-tempat ibadah
(Ahmad, 1996: 9-10).
Agama-agama dimandatkan oleh GBHN 1988 bahwa
semua golongan beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa secara terus-menerus dan bersamasama
meletakkan landasan moral, etika dan spiritual yang kokoh bagi
pembangunan nasional sebagai pengalaman
Pancasila (Soetarman, 1996: 64). Dalam konteks
pelaksanaan mandat GBHN ini (meskipun GBHN secara
formal sudah tidak berlaku tapi spirit hubungan agama dan
pembangunan masih sesuai), maka agama-agama harus
mampu mengembangkan kerja sama dalam rangka
menghadapi masalah-masalah yang dihadapi bersama
(Soetarman, 1996: 65).
Pancasila dan agama dapat diaplikasikan seiring
sejalan dan saling mendukung. Agama dapat mendorong
aplikasi nilai-nilai Pancasila, begitu pula Pancasila
memberikan ruang gerak yang seluas-luasnya terhadap
usaha-usaha peningkatan pemahaman, penghayatan dan
pengamalan agama (Eksan, 2000). Abdurrahman Wahid
(Gusdur) pun menjelaskan bahwa sudah tidak relevan lagi
untuk melihat apakah nilai-nilai dasar itu ditarik oleh
Pancasila dari agama-agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, karena ajaran agama-agama juga
tetap menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agamaagama
harus memperhitungkan eksistensi Pancasila
sebagai “polisi lalu lintas” yang akan menjamin semua
pihak dapat menggunakan jalan raya kehidupan bangsa
tanpa terkecuali (Oesman dan Alfian, 1990: 167-168).
Moral Pancasila bersifat rasional, objektif dan
universal dalam arti berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia.
Moral Pancasila juga dapat disebut otonom karena nilainilainya
tidak mendapat pengaruh dari luar hakikat
manusia Indonesia, dan dapat dipertanggungjawabkan
secara filosofis. Tidak dapat pula diletakkan adanya
bantuan dari nilai-nilai agama, adat, dan budaya, karena
secara de facto nilai-nilai Pancasila berasal dari agamaagama
serta budaya manusia Indonesia. Hanya saja nilainilai
yang hidup tersebut tidak menentukan dasar-dasar
Pancasila, tetapi memberikan bantuan dan memperkuat
(Anshoriy, 2008: 177).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan dalam Sambutan
pada Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober
2005.
Bangsa kita adalah bangsa yang relijius; juga,
bangsa yang menjunjung tinggi, menghormati
dan mengamalkan ajaran agama masing-masing.
Karena itu, setiap umat beragama hendaknya
memahami falsafah Pancasila itu sejalan dengan
nilai-nilai ajaran agamanya masing-masing.
Dengan demikian, kita akan menempatkan
falsafah negara di posisinya yang wajar. Saya
berkeyakinan dengan sedalam-dalamnya bahwa
lima sila di dalam Pancasila itu selaras dengan
ajaran agama-agama yang hidup dan berkembang
di tanah air. Dengan demikian, kita dapat
menghindari adanya perasaan kesenjangan
antara meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran
agama, serta untuk menerima Pancasila sebagai
falsafah negara (Yudhoyono dalam Wildan (ed.),
2010: 172).
Dengan penerimaan Pancasila oleh hampir seluruh
kekuatan bangsa, sebenarnya tidak ada alasan lagi untuk
mempertentangkan nilai-nilai Pancasila dengan agama
mana pun di Indonesia. Penerimaan sadar ini memerlukan
waktu lama tidak kurang dari 40 tahun dalam perhitungan
Maarif, sebuah pergulatan sengit yang telah menguras
energi kita sebagai bangsa. Sebagai buah dari pergumulan
panjang itu, sekarang secara teoretik dari kelima nilai
Pancasila tidak satu pun lagi yang dianggap berlawanan
dengan agama. Sila pertama berupa “Ketuhanan Yang Maha Esa”
dikunci oleh sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia,” dari sudut pemahaman saya sebagai
seorang Muslim, sejalan dan senyawa dengan doktrin
tauhid yang menuntut tegaknya keadilan di muka bumi
(Maarif, 2012).
Kaelan (dalam Wahyudi (ed.), 2009: 243-246)
memetakan persoalan yang menyangkut hubungan agama
dengan Pancasila, yang dikelompokkan dalam tiga tahap,
yaitu:
Pertama, terjadi ketika kaum “nasionalis” mengajukan
Pancasila sebagai dasar filsafat negara menjelang
kemerdekaan Indonesia. Para tokoh pendiri negara dari
kelompok nasionalis Islam dan nasionalis terlibat
perdebatan tentang dasar filsafat dan ideologi negara
Indonesia yang akan didirikan kemudian.
Kedua, respon umat Islam terhadap Pancasila tatkala
pada tahun 1978 pemerintah Orde Baru mengajukan P-4
untuk disahkan. Dalam hubungan ini pada awalnya banyak
tokoh-tokoh Islam merasa keberatan, namun kemudian
menerimanya.
Ketiga, ketika tahun 1985 pemerintah mengajukan
Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organsiasi
politik dan kemasyarakatan di Indonesia. Kebijakan ini
banyak mendapatkan tantangan dari umat Islam bahkan
terdapat beberapa ormas yang dibekukan karena asas
tersebut.
Namun untuk menengahi permasalahan tersebut,
Abdurrahman Wahid (Oesman dan Alfian (ed), 1990: 167-
168) secara gamblang menyatakan bahwa “agama tetap
menjadi referensi umum bagi Pancasila, dan agama-agama
harus memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai
“polisi lalu lintas” yang menjamin semua pihak dapat
menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa
terkecuali”. Sejalan dengan pendapat tersebut, tokoh Masyumi,
Muhammad Roem, berpendapat bahwa kita
sepakat tentang dasar negara mengenai Ketuhanan Yang
Maha Esa, berarti bahwa masing-masing percaya kepada
Tuhan menurut agamanya sendiri-sendiri, dengan
kesadaran bahwa bersama kita dapat mendirikan negara
yang kuat sentosa karena esensi dari agama, ialah hidup
berbakti, menjunjung keadilan, cinta dan kasih sayang
terhadap sesama makhluk (Roem dan Salim, 1977: 116).
Bilamana dirinci, maka hubungan negara dengan
agama menurut NKRI yang berdasarkan Pancasila adalah
sebagai berikut (Kaelan, 2012: 215-216):
a. Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang ber-
Ketuhanan yang Maha Esa. Konsekuensinya setiap
warga memiliki hak asasi untuk memeluk dan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama masingmasing.
c. Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekularisme karena
hakikatnya manusia berkedudukan kodrat sebagai
makhluk Tuhan.
d. Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golongan
agama, antar dan inter pemeluk agama serta antar
pemeluk agama.
e. Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena
ketakwaan itu bukan hasil peksaan bagi siapapun juga.
f. Memberikan toleransi terhadap orang lain dalam
menjalankan agama dalam negara.
g. Segala aspek dalam melaksanakan dan
menyelenggatakan negara harus sesuai dengan nilainilai
Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma
Hukum positif maupun norma moral baik moral agama
maupun moral para penyelenggara negara.
h. Negara pda hakikatnya adalah merupakan “…berkat
rahmat Allah yang Maha Esa”. Berdasarkan kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi
(ed.), 2009: 58), dijelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang religius. Religiusitas bangsa Indonesia ini,
secara filosofis merupakan nilai fundamental yang
meneguhkan eksistensi negara Indonesia sebagai negara
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha
Esa merupakan dasar kerohanian bangsa dan menjadi
penopang utama bagi persatuan dan kesatuan bangsa
dalam rangka menjamin keutuhan NKRI. Karena itu, agar
terjalin hubungan selaras dan harmonis antara agama dan
negara, maka negara sesuai dengan Dasar Negara Pancasila
wajib memberikan perlindungan kepada agama-agama di
Indonesia.

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

2 Responses to "JENIS JENIS IDEOLOGI PANCASILA."