KONSEP ISLAM TENTANG MANUSIA MAKHLUK PENCARI KEBENARAN.



KONSEP ISLAM TENTANG MANUSIA MAKHLUK PENCARI KEBENARAN.
Hasil gambar untuk manusia pencari kebenaran

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Di postingan kali ini saya akan menjabarkan materi tentang manusia sebagai makhluk pencari kebenaran. Hal ini menyangkut tentang hakikat manusia dan permasalahan yang dihadapinya, untuk lebuih jelasnya lagi, dapat kita simak materi nya berikut ini:

1.Hakekat Manusia
Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT, karena manusia manusia disempurnakan oleh nalar intelektual yang tidak dimiliki oleh mahkluk hidup lainnya. Dengan nalar itulah manusia dapat berfikir, menganalisis, memperkirakan, menyimpulkan, membandingkan, dan sebagainya. Nalar intelektual ini pula yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang jelek, antara yang salah dan yang benar. Ada kalanya ia mengikuti nalarnya dalam mengambil suatu keputusan dalam hidupnya, yang tentu saja dengan berbagai pertimbangan yang telah ia pikirkan.
Dalam rumusan ilmu mantiq (logika), kita temukan sebuah rumusan tentang manusia dari hewan, yaitu al-insan hayawanun nathiq, yang artinya insan itu adalah hewan (bukan hewan) yang nathiq, yang mengeluarkan pendapat dan berkata-kata dengan mempergunakan pikirannya. Tegasnya, manusia adalah hewan yang berpikir.
Pada saat-saat tertentu dalam perjalanan hidupnya, manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan asal-usul keberadaan dirinya sendiri. Prof. Dr. R. F. Beerling, mantan Guru Besar Universitas Indonesia mengatakan, “sepanjang zaman telah dicoba orang menyatakan dengan berbagai macam cara, dimana letak hakikat perbedaan manusia, misalnya dengan binatang. Bahwa ia pandai tertawa, bahwa ia memiliki perasaan malu, bahwa ia membedakan antara yang baik dan yang buruk, bahwa ia memiliki kemauan yang bebas. Semuanya ini adalah sifat-sifat yang mungkin menimbulkan pandangan tentang manusia secara filsafat yang panjang lebar. Akan tetapi yang tipis sekali ialah bahwa manusia itu makhluk bertanya.
Ilmu mantiq menyimpulkan “manusia hewan berpikir” dan Beerling menyimpulkan “manusia adalah hewan bertanya”. Masalahnya bagi kita ialah bagaimana hubungan antara pikir dan tanya? Apakah ia saling bertentangan? Apakah ia berbeda? Apakah ia sama?
Berkata sebenarnya ialah mengeluarkan pendapat berdasarkan pikiran. Sedang berpikir itu sendiri hakikatnya adalah bertanya. Berpikir tentang sesuatu berarti bertanya tentang sesuatu. Bertanya tentang sesuatu artinya mencari jawaban tentang sesuatu yang dipertanyakan. Mencari jawaban sama juga mencari kebenaran. Jadi pada akhirnya manusia adalah makhluk pencari kebenaran.

B.     Renungan Tentang Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Hal yang sekarang menjadi pertanyaan ialah mencari kebenaran tentang apa? Jawaban atas pertanyaan ini dapat dikemukakan bahwa: kebenaran yang dicari manusia ialah kebenaran tentang sesuatu yang menjadi masalah manusia atau yang dimasalahkan manusia. Manusia dari waktu ke waktu selalu memiliki masalah yang ingin dipecahkan atau ingin dicari jawabannya. Apabila kita cermati dengan seksama segala sesuatu yang dipermasalahkan manusia itu teramat banyak dan kompleks. Oleh karenanya untuk memudahkan memahami masalah manusia, berikut ini dikemukakan tentang teori kebenaran. Ada tiga teori kebenaran yaitu sebagai berikut:
1.      Teori Korespondensi
Teori korespondensi tentang kebenaran (the correspondence theory of truth) menyatakan bahwa  kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan atau dengan kata lain pernyataan yang sesuai dengan kenyataan, contoh misalnya Farhan adalah mahasiswa UIN Walisongo. Pernyataan yang baru saja kita katakan itu sebagai hal yang benar, karena memang Farhan kenyataannya adalah mahasiswa UIN Walisongo (mahasiswa pendidikan matematika semester 2 di UIN Walisongo Semarang).
2.      Teori Konsistensi/koherensi
Teori konsistensi tentang kebenaran (the consistence theory of truth) menjelaskan bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu kita ketahui, terima dan akui sebagai benar. Teori ini juga disebut teori penyaksian (yustifikasi) tentang kebenaran, karena memang menurut teori ini suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (yustifikasi) oleh putusan-putusan lainnya terdahulu yang sudah diketahui dan diakui sebagai benar, contoh: A adalah ayah B, ini adalah suatu pernyataan yang sudah kita ketahui, terima dan akui sebagai hal yang benar, selanjutnya kita sebut sebagai pernyataan pertama. Kemudian kita membuat pernyataan lain misalnya: A mempunyai putra B atau B adalah putra A. Dua pernyataan berturut-turut yang baru kita sebut di atas adalah pernyataan yang benar, karena konsisten dengan pernyataan pertana yang telah kita ketahui, terima dan akui kebenarannya.
3.      Teori Pragmatis
Teori pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth) ialah bahwa suatu ucapan, dalil atau teori itu dianggap benar tergantung  berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam penghidupannya. Jadi, kriteria kebenaran pragmatis adalah:
a.       Adakah kegonaannya (utility)
b.      Dapatkah dikerjakan (workability)
c.       Apakah pengaruhnya (satisfactory consequences) memuaskan atau tidak?

Keinginan hendak mengetahui kebenaran merupakan salah satu dari gerak asli pikiran manusia, demikian menurut S. Takdir Alisjahbana. Kebenaran dari dunia yang dilihat, didengar, dan dipikirkan merupakan kebenaran yang hendak dicari oleh manusia. Manusia belum puas dengan kenyataan yang dihadapinya secara langsung dengan panca inderanya. Ia mencari kebenaran yang tersembunyi dibaliknya. Manusia akan berusaha mendapatkan kebenaran yang ia cari dengan pengetahuan yang dimilikinya.

C.    Cara Mencari Kebenaran
Menemukan jawaban yang salah terhadap masalah asasi (manusia, alam dan  Tuhan) akan berakibat fatal bagi kehidupan umat manusia tersendiri. Oleh karenanya persoalan penting dan mendasar adalah dengan cara apa manusia mencari jawaban atau mencari kebenaran itu. Atau dengan kata lain manusia menemukan kebenaran itu menggunakan cara seperti apa. Ada tiga cara manusia mencari dan menemukan kebenaran yaitu dengan ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama.
1.      Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan atau disingkat ilmu, berasal dari kata arab ‘ilm masdar dari kata ‘alima yang artinya pengetahuan. Ada dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindra, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memerhatikan objek, cara dan kegunaannya, pengetahuan ini disebut knowledge. Pengetahuan ilmiah juga merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu dengan memerhatikan objek yang ditelaah. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah memerhatikan objek antologis, epistemologis, dan landasan aksiologis dari pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan ilmiah inilah yang disebut ilmu atau science.
Pada dasarnya ilmu mempunyai tujuan untuk mencari kebenaran, sehingga untuk mencapai kebenaran yang dimaksud dipakailah metode yang dikenal dengan metode ilmiah. Metode ini yang membedakan antara pengetahuan dan ilmu, dimana ilmu memerlukan jalan panjang yang harus dilalui dalam proses dari pengetahuan biasa menjadi pengetahuan ilmiah. Perumusan metode ilmiah pada umumnya melalui proses sebagai berikut:
a.       Pengumpulan data dan fakta
b.      Pengamatan data dan fakta
c.       Pemilihan data dan fakta
d.      Penggolongan data dan fakta
e.       Penafsiran data dan fakta
f.       Penarikan kesimpulan umum
g.      Perumusan hipotesia
h.      Pengujian hipotesis melalui riset, eksperimen
i.        Penilaian
j.        Perumusan teori ilmu pengetahuan
k.      Perumusan dalil atau hukum ilmu pengetahuan
Ilmu memiliki karakteristik tertentu yaitu hasil pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum tentang hal ikhwal yang diselidiki (objek) sejauh yang dapat dijangkau daya akal manusia melalui pengujian secara empiris, riset dan eksperimen. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa ilmu memiliki ciri-ciri rasional, komulatif, objektif, dan universal. Dengan ciri-ciri yang demikian dimana akal sebagai tumpuannya maka sudah tentu tidak semua persoalan manusia, khususnya ultimate problems bisa mampu dijawab oleh ilmu. Karena sejatinya pencapaian kebenaran ilmu itu tidaklah absolut melainkan nisbi.


2.      Filsafat
Kata filsafat atau falsafah berasal dari bahasa yunani “philosophia”. Secara etimologi berarti cinta pengetahuan atau cinta kebijaksanaan. Orang yang cinta kebijaksanaan disebut philosophas atau failosuf (filsuf). Pecinta kebijaksanaan atau pengetahuan disini maksudnya ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya atau dengan kata lain orang yang mengabdikan hidupnya kepada pengetahuan. Para pakar berbeda dalam memutuskan batasan filsafat misalnya plato (427-347 SM), filsuf yunani ini menyatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles (384-322 SM), murid plato menyatakan bahwa filsafat itu ialah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Al-Farabi (870-950 M) seorang filsuf muslim memberikan definisi filsafat ialah pengetahuan alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya (al-‘ilm bi al-maujudat bima hiya maujudat).
Harun Nasution sebagai pakar filsafat Indonesia memberikan definisi filsafat ialah pengetahuan tentang hikmat, pengetahuan tenteng prinsip atau dasar-dasar tentang hal yang dibahas. Intisari filsafat ialah berpikir menurut tata tertib logika dengan bebas tanpa terikatpada tradisi, dogma serta agama dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan. Hasbullah Bakry, penulis Sistematik Filsafat menjelaskan bahwa filsafat ialah ilmu yang menyelidiki tentang segala sesuatu yang mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikat sejauh yang dapat dijangkau oleh akal manusiadan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Dari definisi-definisi yang ditampilkan diatas dapat disimpulkan secara singkat bahwa filsafat ialah ilmu istimewa yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, yaitu usaha manusia dengan akal budinya untuk memahami secara radikal dan integral serta sistematik hakikat segala yang ada, yaitu hakikat Tuhan, alam, dan manusia.
Endang Saifuddin Anshari menjelaskan bahwa filsafat tidak menghasilkan keyakinan oleh karena alat filsafat satu-satunya yang dipakai adalah akal. Sedangkan akal hanyalah satu bagian dari rohani manusia dan tidak mungkin mengetahui sesuatu keseluruhan hanya dengan satu bagian. Maka keseluruhan kebenaran dapat diketahui dengan seluruh rohani manusia (perasaannya, akalnya, intuisinya, nalurinya). Karena satu-satunya alat yang digunakan dalam filsafat ialah akal yaitu satu bagian dari rohani manusia, kiranya belum mampu menjangkau keseluruhan kebenaran tentang manusia, alam dan Tuhan. Dengan kata lain kebenaran yang dicapai filsafat adalah tidak mutlak atau nisbi.
3.      Agama
Kata agama dalam bahasa Indonesia berarti sama dengan “din” dalam bahasa Arab dan semit, atau dalam bahasa Inggris religion. Secara bahasa agama berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Sedangkan kata “din” memiliki arti yaitu menguasai, memudahkan, patuh, utang, balasan atau kebiasaan.
Dalam pengertian teknis terminologis, ketiga istilah tersebut memiliki makna yang sama, yaitu:
a.       Agama, din, region adalah satu sistem credo (tata keimana atau tata keyakinan) atas adanya Yang Maha Mutlak di luar diri manusia;
b.      Agama juga adalah satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Yang Maha Mutlak tersebut;
c.       Disamping merupakan satu sistema credo dan satu sistema ritus, agama juga adalah satu sistem norma (tata kaidah atau tata aturan) yang mengatur hubungan manusia sesama manusiadan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan
Menurut Durkheim, agama adalah sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus. Bagi Spencer, agama adalah kepercayaan terhadap sesuatu Yang Maha Mutlak. Sementara Dewey, menyatakan bahwa agama adalah pencarian manusia terhadap cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya; agama adalah pengenalan manusia terhadap kekuatan gaib yang hebat. Dengan demikian mengikuti pendapat Smith, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa hingga saat ini belum ada definisi yang benar dan dapat diterima secara universal.
Kebenaran agama bersifat mutlak karena itu berasal dari Allah SWT. Manusia memperoleh kebenaran agama dengan melihat kitabsuci, apa yang dikatakan benar oleh kitab suci adalah benar, dan apa yang dikatakan salah oleh kitab suci adalah salah.
D.    Persamaan, Perbedaan, dan Nisbah antara Ilmu, Filsafat dan Agama
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan, perbedaan, dan nisbah antara ilmu, filsafat dam agama. Persamaannya adalah ketiga-tiganya berkompeten untuk mencari dan menemukan kebenaran. Sementara perbedaan antara ketiganya, dapat dilihat dari beberapa segi: pertama, dari segi proses pencapaian kebenaran. Manusia menemukan kebenaran ilmu melalui langkah-langkah metodologi ilmiah, khususnya dengan cara eksperimen. Manusia menemukan kebenaran filsafat melalui petualanganakal-pikiran, memikirkan segala sesuatu sampai ke akar-akarnya. Manusia menemukan kebenaran agama dengan melihat teks-teks kitab suci dan sabda Nabi.
Kedua, dari sifat kebenaran yang dicapainya, kebenaran ilmu bersifat positif dan objektif, siapapun yang mempelajari hasilnya akan sama. Kebenaran filsafat bersifat subjektif dan spekulatif. Pencapaian kebenaran ilmu dan filsafat adalah nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama (dalam hal ini adalah islam) bersifat mutlak atau absolut, karena berasal dari Allah SWT. Ketiga, dari proses permulaan ilmu dan filsafat dimulai dengan sikap tidak percaya sementara agama dimulai dengan sikap percaya.
Sementara nisbah anatara ilmu, filsafat dan agama adalah ketiganya saling berkaitan. Ketika ilmu pengetahuan tidak mampu menjawab persoalan yang dihadapi manusia, maka manusia akan mencarinya melalui filsafat, dan ketika filsafat tidak mampu menjawabnya atau mampu menjawabnya tetapi tidak mampu memuaskan dirinya, maka manusia mencarinya di dalam agama. Sebagai contoh ketika manusia bertanya kenapa terjadi hujan? Ilmu pengetahuan bisa menjelaskan secara ilmiah. Misalnya hujan terjadi melalui proses dimana air laut terkena panas matahari menguap, uap setelah mencapai titik jenuh menjadi awan, awan terkena angin jatuh ke bumi menjadi hujan. Akan tetapi ketika manusia bertanya, mengapa air terkena panas matahari bisa menguap? Ilmu pengetahuan tidak mampu menjawabnya, disinilah filsafat menemukan jawaban hukum alam (natural law). Ketika manusia bertanya apa hukum alam dan bagaimana eksistensinya? Filsafat tidak mampu menjawabnya, maka melalui agama manusia menemukan jawaban bahwa hukum alam ternyata adalah sunnatullah/takdir.

Sekian postingan kali ini,
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.


                                      

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "KONSEP ISLAM TENTANG MANUSIA MAKHLUK PENCARI KEBENARAN."

Post a Comment