A.DASAR-DASAR PENDIDIKAN PACASILA.
1. Dasar Filosofis
Ketika
Republik Indonesia diproklamasikan pasca Perang Dunia kedua, dunia
dicekam
oleh pertentangan ideologi kapitalisme dengan ideologi komunisme.
Kapitalisme
berakar pada faham individualisme yang menjunjung tinggi kebebasan dan
hak-hak
individu; sementara komunisme berakar pada faham sosialisme atau
kolektivisme
yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan
individual.
Kedua aliran ideologi ini melahirkan sistem kenegaraan yang berbeda. Faham
individualisme
melahirkan negara-negara kapitalis yang mendewakan kebebasan
(liberalisme)
setiap warga, sehingga menimbulkan perilaku dengan superioritas individu,
kebebasan
berkreasi dan berproduksi untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Sementara
faham kolektivisme melahirkan negara-negara komunis yang otoriter dengan
tujuan
untuk melindungi kepentingan rakyat banyak dari eksploitasi segelintir warga
pemilik kapital.
Pertentangan
ideologi ini telah menimbulkan ‘perang dingin’ yang dampaknya
terasa
di seluruh dunia. Namun para pendiri negara Republik Indonesia mampu
melepaskan
diri dari tarikan-tarikan dua kutub ideologi dunia tersebut, dengan
merumuskan
pandangan dasar (philosophische grondslag) pada sebuah konsep filosofis
yang
bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila bahkan bisa
berperan
sebagai penjaga keseimbangan (margin
of appreciation) antara dua ideologi
dunia
yang bertentangan, karena dalam ideologi Pancasila hak-hak individu dan
masyarakat
diakui secara proporsional.
Rumusan
tentang Pancasila tidak muncul dari sekedar pikiran logis-rasional,
tetapi
digali dari akar budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Maka Bung Karno
hanya
mengaku diri sebagai penggali Pancasila, karena nilai-nilai yang dirumuskan
dalam
Pancasila
itu diambil dari nilai-nilai yang sejak lama hadir dalam masyarakat Nusantara.
Oleh
karena itulah Pancasila disebut mengandung nilai-nilai dasar filsafat (philosophischegrondslag),
merupakan jiwa bangsa (volksgeist) atau jati diri bangsa (innerself
of nation),
dan
menjadi cara hidup (way of life) bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Dengan
demikian
nilai-nilai dalam Pancasila merupakan karakter bangsa, yang menjadikan
bangsa
Indonesia berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Pendidikan Pancasila perlu karena
dengan
cara itulah karakter bangsa dapat lestari, terpelihara dari ancaman gelombang
globalisasi
yang semakin besar.
2. Dasar Sosiologis
Bangsa
Indonesia yang penuh kebhinekaan terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa
yang
tersebar di lebih dari 17.000 pulau, secara sosiologis telah mempraktikan
Pancasila
karena
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan kenyataan-kenyataan
(materil,
formal, dan fungsional) yang ada dalam masyarakat Indonesia. Kenyataan
objektif
ini menjadikan Pancasila sebagai dasar yang mengikat setiap warga bangsa untuk
taat
pada nilai-nilai instrumental yang berupa norma atau hukum tertulis (peraturan
perundang-undangan,
yurisprudensi, dan traktat) maupun yang tidak tertulis seperti adatistiadat,
kesepakatan atau kesepahaman, dan konvensi.
Kebhinekaan
atau pluralitas masyarakat bangsa Indonesia yang tinggi, dimana
agama,
ras, etnik, bahasa, tradisi-budaya penuh perbedaan, menyebabkan ideologi
Pancasila
bisa diterima sebagai ideologi pemersatu. Data sejarah menunjukan bahwa
setiap
kali ada upaya perpecahan atau pemberontakan oleh beberapa kelompok
masyarakat,
maka nilai-nilai Pancasilalah yang dikedepankan sebagai solusi untuk
pemersatu,
maka kegagalan upaya pemberontakan yang terakhir (G30S/PKI) pada 1
Oktober
1965 untuk seterusnya hari tersebut dijadikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Bangsa
Indonesia yang plural secara sosiologis membutuhkan ideologi pemersatu
Pancasila.
Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila perlu dilestarikan dari generasi ke
generasi
untuk
menjaga keutuhan masyarakat bangsa. Pelestarian nilai-nilai Pancasila dilakukan
khususnya
lewat proses pendidikan formal, karena lewat pendidikan berbagai butir nilai
Pancasila tersebut
dapat disemaikan dan dikembangkan secara terencana dan terpadu.
3. Dasar Yuridis
Pancasila
sebagai norma dasar negara dan dasar negara Republik Indonesia yang
berlaku
adalah Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945 (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945) junctis Keputusan
Presiden
RI Nomor 150 Tahun 1959 mengenai Dekrit Presiden RI/Panglima Tertinggi
Angkatan
Perang Tentang Kembali Kepada Undang-Undang Dasar NNegara REpublik
Indonesia
Tahun 1945. Naskah Pembukaan UUD NRI 1945 yang berlaku adalah
Pembukaan
UUD NRI Tahun 1945 yang disahkan/ditetapkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Sila-sila Pancasila yang tertuang
dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 secara filosofis-sosiologis berkedudukan sebagai
Norma
Dasar Indonesia dan dalam konteks politis-yuridis sebagai Dasar Negara
Indonesia.
Konsekuensi dari Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun
1945,
secara yuridis konstitusional mempunyai kekuatan hukum yang sah, kekuatan
hukum berlaku, dan
kekuatan hukum mengikat.
Nilai-nilai
Pancasila dari segi implementasi terdiri atas nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Nilai dasar terdiri atas
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
nilai
Kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai Persatuan Indonesia, nilai Kerakyatan
yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan nilai
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai dasar ini terdapat pada Pembukaan
UUD
NRI Tahun 1945, dan Penjelasan UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan bahwa nilai
dasar
tersebut harus dijabarkan konkret dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945,
bahkan
pada semua peraturan perundang-undangan pelaksanaannya.
Peraturan
perundang-undangan ke tingkat yang lebih rendah pada esensinya
adalah
merupakan pelaksanaan dari nilai dasar Pancasila yang terdapat pada Pembukaan
dan
batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, sehingga perangkat peraturan perundangundangan
tersebut
dikenal sebagai nilai instrumental Pancasila. Jadi nilai instrumental
harus
merupakan penjelasan dari nilai dasar; dengan kata lain, semua perangkat
perundang-undangan
haruslah merupakan penjabaran dari nilai-nilai dasar Pancasila
yang terdapat pada
Pembukaan dan batang tubuh UUD NRI Tahun 1945.
Para
penyusun peraturan perundang-undangan (legal
drafter) di lembagalembaga
legislatif,
eksekutif, dan yudikatif dari tingkat pusat hingga daerah adalah orangorang
yang
bertugas melaksanakan penjabaran nilai dasar Pancasila menjadi nilai-nilai
instrumental.
Mereka ini, dengan sendirinya, harus mempunyai pengetahuan, pengertian
dan
pemahaman, penghayatan, komitmen, dan pola pengamalan yang baik terhadap
kandungan
nilai-nilai Pancasila. Sebab jika tidak, mereka akan melahirkan nilai-nilai
instrumental
yang menyesatkan rakyat dari nilai dasar Pancasila.
Jika
seluruh warga bangsa taat asas pada nilai-nilai instrumental, taat pada semua
peraturan
perundang-undangan yang betul-betul merupakan penjabaran dari nilai dasar
Pancasila,
maka sesungguhnya nilai praksis Pancasila telah wujud pada amaliyah setiap
warga.
Pemahaman perspektif hukum seperti ini sangat strategis disemaikan pada semua
warga
negara sesuai dengan usia dan tingkat pendidikannya, termasuk pada parapenyusun
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu menjadi suatu kewajaran,
bahkan
keharusan, jika Pancasila disebarluaskan secara massif antara lain melalui
pendidikan,
baik pendidikan formal maupun nonformal.
Penyelenggaraan
pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi lebih penting lagi
karena
Perguruan Tinggi sebagai agen perubahan yang melahirkan intelektual-intelektual
muda
yang kelak menjadi tenaga inti pembangunan dan pemegang estafet
kepemimpinan
bangsa dalam setiap strata lembaga dan badan-badan negara, lembagalembaga
daerah,
lembaga-lembaga infrastruktur politik dan sosial kemasyarakatan,
lembaga-lembaga
bisnis, dan lainnya.
B. Tujuan Penyelenggaraan Pendidikan Pancasila.
Dengan
penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, diharapkan dapat
tercipta
wahana pembelajaran bagi para mahasiswa untuk secara akademik mengkaji,
menganalisis,
dan memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa dan negara dalam
perspektif
nilai-nilai dasar Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik
Indonesia.
Pendidikan
Pancasila sebagai bagian dari pendidikan Nasional bertujuan untuk
mewujudkan
tujuan Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan nasional yang ada merupakan
rangkaian
konsep, program, tata cara, dan usaha untuk mewujudkan tujuan nasional yang
diamanatkan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jadi
tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi pun merupakan
bagian
dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara
spesifik tujuan penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi adalah untuk :
1.
Memperkuat Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan ideologi bangsa melalui
revitalisasi
nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar kehidupan bermasyarakat,
berbangsa
dan bernegara.
2.
Memberikan pemahaman dan penghayatan atas jiwa dan nilai-nilai dasar Pancasila
kepada
mahasiswa sebagai warga negara Republik Indonesia, serta membimbing
untuk
dapat menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
3.
Mempersiapkan mahasiswa agar mampu menganalisis dan mencari solusi terhadap
berbagai
persoalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui
sistem
pemikiran yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
4.
Membentuk sikap mental mahasiswa yang mampu mengapresiasi nilai-nilai
ketuhanan,
kemanusiaan, kecintaan pada tanah air dan kesatuan bangsa, serta penguatan
masyarakat madani yang demokratis, berkeadilan, dan bermartabat
berlandaskan
Pancasila, untuk mampu berinteraksi dengan dinamika internal dan eksternal
masyarakat bangsa Indonesia.
C. Capaian Pembelajaran
1.
Memiliki kemampuan analisis, berfikir rasional, bersikap kritis dalam
menghadapi
persoalan-persoalan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2.
Memiliki kemampuan dan tanggung jawab intelektual dalam mengenali
masalahmasalah
dan
memberi solusi berdasarkan nilai-nilai Pancasila
3.
Mampu menjelaskan dasar-dasar kebenaran bahwa Pancasila adalah ideologi yang
sesuai bagi bangsa
Indonesia yang majemuk (Bhinneka Tunggal Ika).
4.
Mampu mengimplementasikan dan melestarikan nilai-nilai Pancasila dalam realitas
kehidupan
5.
Memiliki karakter ilmuwan dan profesional Pancasilais yang memiliki komitmen
atas
kelangsungan hidup
dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah
sidang pertama BPUPKI dilaksanakan, terjadi
perdebatan
sengit yang disebabkan perbedaan pendapat.
Karena
apabila dilihat lebih jauh para anggota BPUPKI
terdiri
dari elit Nasionalis netral
agama,
elit Nasionalis Muslim
dan
elit Nasionalis Kristen. Elit
Nasionalis
Muslim di BPUPKI
mengusulkan
Islam sebagai
dasar
Negara, namun dengan
kesadaran
yang dalam akhirnya
terjadi
kompromi politik antara
Nasionalis
netral agama dengan Nasionalis Muslim untuk
menyepakati
Piagam Jakarta (22 Juni 1945) yang berisi
“tujuh
kata”: “…dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi
“Ketuhanan
Yang Maha Esa” (Risalah Sidang BPUPKI, 1995;
Anshari,
1981; Darmodihardjo, 1991). Kesepakatan
peniadaan
tujuh kata itu dilakukan dengan cepat dan
legowo demi kepentingan
nasional oleh elit Muslim: Moh.
Hatta;
Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Moh. Hasan dan tokoh tertentu (
Eleson
dalam Surono dan Endah (ed.), 2010: 37).
Pada
awal kelahirannya, menurut Onghokham dan
Andi
Achdian, Pancasila tidak lebih sebagai kontrak sosial.
Hal
tersebut ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan
negosiasi
di tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati
dasar
negara yang kelak digunakan Indonesia merdeka (Ali,
2009:
17). Inilah perjalanan The
Founding Fathers yang
begitu
teliti mempertimbangkan berbagai kemungkinan
dan
keadaan agar dapat melahirkan dasar negara yang
dapat
diterima semua lapisan masyarakat Indonesia.
muslim
lainnya. Jadi elit Muslim sendiri tidak ingin republik
yang dibentuk ini
merupakan negara berbasis agama
Toko Mesin · Jual Mesin · Susu Listrik · Portal Belanja Mesin Makanan, Pertanian, Peternakan & UKM · CP 0852-576-888-55 / 0856-0828-5927
ReplyDelete