Hakikat Sila-Sila Pancasila.


Hakikat Sila-Sila Pancasila.

Hasil gambar untuk sila pancasila dan lambangnya


Kata ‘hakikat’ dapat diartikan sebagai suatu inti yang
terdalam dari segala sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur
tertentu dan yang mewujudkan sesuatu itu, sehingga terpisah
dengan sesuatu lain dan bersifat mutlak. Ditunjukkan oleh
Notonagoro (1975: 58), hakikat segala sesuatu mengandung
kesatuan mutlak dari unsur-unsur yang menyusun atau
membentuknya. Misalnya, hakikat air terdiri atas dua unsur
mutlak, yaitu hidrogen dan oksigen. Kebersatuan kedua unsur
tersebut bersifat mutlak untuk mewujudkan air. Dengan kata
lain, kedua unsur tersebut secara bersama-sama menyusun air
sehingga terpisah dari benda yang lainnya, misalnya dengan
batu, kayu, air raksa dan lain sebagainya.
Terkait dengan hakikat sila-sila Pancasila, pengertian kata
‘hakikat’ dapat dipahami dalam tiga kategori, yaitu:
1) Hakikat abstrak yang disebut juga sebagai hakikat jenis atau
hakikat umum yang mengandung unsur-unsur yang sama,
tetap dan tidak berubah. Hakikat abstrak sila-sila Pancasila
menunjuk pada kata: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan. Menurut bentuknya, Pancasila
terdiri atas kata-kata dasar Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan
adil yang dibubuhi awalan dan akhiran, berupa ke dan an (sila
I, II, IV, dan V), sedangkan yang satu berupa per dan an (sila
III). Kedua macam awalan dan akhiran itu mempunyai
kesamaan dalam maksudnya yang pokok, ialah membuat
abstrak atau mujarad, tidak maujud atau lebih tidak maujud
arti daripada kata dasarnya (Notonagoro, 1967: 39).
2) Hakikat pribadi sebagai hakikat yang memiliki sifat khusus,
artinya terikat kepada barang sesuatu. Hakikat pribadi
Pancasila menunjuk pada ciri-ciri khusus sila-sila Pancasila
yang ada pada bangsa Indonesia, yaitu adat istiadat, nilai-nilai
agama, nilai-nilai kebudayaan, sifat dan karakter yang
melekat pada bangsa Indonesia sehingga membedakan
bangsa Indonesia dengan bangsa yang lain di dunia. Sifat-sifat
dan ciri-ciri ini tetap melekat dan ada pada bangsa Indonesia.
Hakikat pribadi inilah yang realisasinya sering disebut
sebagai kepribadian, dan totalitas kongkritnya disebut
kepribadian Pancasila.
3) Hakikat kongkrit yang bersifat nyata sebagaimana dalam
kenyataannya. Hakikat kongkrit Pancasila terletak pada
fungsi Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dalam
realisasinya, Pancasila adalah pedoman praktis, yaitu dalam
wujud pelaksanaan praktis dalam kehidupan negara, bangsa
dan negara Indonesia yang sesuai dengan kenyataan seharihari,
tempat, keadaan dan waktu. Dengan realisasi hakikat
kongkrit itu, pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan negara
setiap hari bersifat dinamis, antisipatif, dan sesuai dengan
perkembangan waktu, keadaan, serta perubahan zaman
(Notonagoro, 1975: 58-61).
Pancasila yang berisi lima sila, menurut Notonagoro
(1967: 32) merupakan satu kesatuan utuh. Kesatuan sila-sila
Pancasila tersebut, diuraikan sebagai berikut:
1. Kesatuan sila-sila Pancasila dalam struktur yang bersifat
hirarkis dan berbentuk piramidal
Susunan secara hirarkis mengandung pengertian bahwa
sila-sila Pancasila memiliki tingkatan berjenjang, yaitu sila yang
ada di atas menjadi landasan sila yang ada di bawahnya. Sila
pertama melandasi sila kedua, sila kedua melandasi sila ketiga,
sila ketiga melandasi sila keempat, dan sila keempat melandasi
sila kelima. Pengertian matematika piramidal digunakan untuk
menggambarkan hubungan hirarkis sila-sila Pancasila menurut
urut-urutan luas (kwantitas) dan juga dalam hal sifat-sifatnya
(kwalitas). Dengan demikian, diperoleh pengertian bahwa
menurut urut-urutannya, setiap sila merupakan pengkhususan
dari sila-sila yang ada dimukanya.
Dalam susunan hirarkis dan piramidal, sila Ketuhanan
yang Maha Esa menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia,
kerakyatan dan keadilan sosial. Sebaliknya Ketuhanan Yang
Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang
membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan
Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Demikian
selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila di dalamnya mengandung
sila-sila lainnya.
Secara ontologis, kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu
sistem yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut, sebagaimana diungkapkan oleh
Notonagoro (1984: 61 dan 1975: 52, 57), bahwa hakikat adanya
Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa
prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk
manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai
akibat adanya Tuhan (sila pertama). Adapun manusia adalah
sebagai subjek pendukung pokok negara, karena negara adalah
lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup
bersama yang anggotanya adalah manusia (sila kedua). Dengan
demikian, negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang
bersatu (sila ketiga). Selanjutnya terbentuklah persekutuan
hidup bersama yang disebut rakyat. Rakyat pada hakikatnya
merupakan unsur negara di samping wilayah dan pemerintah.
Rakyat adalah totalitas individu-individu dalam negara yang
bersatu (sila keempat). Adapun keadilan yang pada hakikatnya
merupakan tujuan bersama atau keadilan sosial (sila kelima)
pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama
yang disebut negara.
2. Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling
mengisi dan saling mengkualifikasi
Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula
dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam
kerangka hubungan hirarkis piramidal seperti di atas. Dalam
rumusan ini, tiap-tiap sila mengandung empat sila lainnya atau
dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Untuk kelengkapan
hubungan kesatuan keseluruhan sila-sila Pancasila yang
dipersatukan dengan rumusan hirarkis piramidal tersebut,
berikut disampaikan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling
mengisi dan saling mengkualifikasi.
a) Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia;
b) Sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab adalah
kemanusiaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia;
c) Sila ketiga; persatuan Indonesia adalah persatuan yang
ber-Ketuhanan YME, berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
d) Sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
adalah kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia;
e) Sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
adalah keadilan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro,
1975: 43-44).

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "Hakikat Sila-Sila Pancasila."

Post a Comment