PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA.
Pancasila memiliki bermacam-macam fungsi dan
kedudukan, antara lain sebagai dasar negara, pandangan hidup
bangsa, ideologi negara, jiwa dan kepribadian bangsa. Pancasila
juga sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan dan keadilan. Oleh karena itu, Pancasila
secara normatif dapat dijadikan sebagai suatu acuan atas
tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif
kajian atas nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.
Sebagai suatu nilai yang terpisah satu sama lain, nilai-nilai
tersebut bersifat universal, dapat ditemukan di manapun dan
kapanpun. Namun, sebagai suatu kesatuan nilai yang utuh, nilainilai
tersebut memberikan ciri khusus pada ke-Indonesia-an
karena merupakan komponen utuh yang terkristalisasi dalam
Pancasila. Meskipun para founding
fathers mendapat pendidikan
dari Barat, namun causa
materialis Pancasila digali dan
bersumber dari agama, adat dan kebudayaan yang hidup di
Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila yang pada awalnya
merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi
berdirinya negara Indonesia, berkembang menjadi konsensus
moral yang digunakan sebagai sistem etika yang digunakan
untuk mengkaji moralitas bangsa dalam konteks hubungan
berbangsa dan bernegara.
A. Apa itu Etika?
Dalam percakapan sehari-hari dan dalam berbagai
tulisan sangat sering seseorang menyebut istilah etika,
meskipun sangat sering pula seseorang menggunakannya
secara tidak tepat. Sebagai contoh penggunaan istilah
‘etika pergaulan, etika jurnalistik, etika kedokteran’ dan lain-lain,
padahal yang dimaksud adalah etiket, bukan etika. Etika
harus dibedakan dengan etiket. Etika adalah kajian ilmiah
terkait dengan etiket atau moralitas. Dengan demikian,
maka istilah yang tepat adalah etiket pergaulan, etiket
jurnalistik, etiket kedokteran, dan lain-lain. Etiket secara
sederhana dapat diartikan sebagai aturan
kesusilaan/sopan santun.
Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari
bahasa Yunani, ethos, yang artinya watak kesusilaan atau
adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari
bahasa Latin, mos yang jamaknya mores, yang juga berarti
adat atau cara hidup. Meskipun kata etika dan moral
memiliki kesamaan arti, dalam pemakaian sehari-hari dua
kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau moralitas
digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan
etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada
(Zubair, 1987: 13). Dalam bahasa Arab, padanan kata etika
adalah akhlak yang merupakan kata jamak khuluk yang
berarti perangai, tingkah laku atau tabiat (Zakky, 2008: 20.)
B. Aliran-aliran Besar Etika
Dalam kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu
deontologi, teleologi dan keutamaan. Setiap aliran memiliki
sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu
perbuatan dikatakan baik atau buruk.
1. Etika
Deontologi
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik
atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak
dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat
dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika
seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804).
Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar
untuk menilai tindakan tersebut karena akibat tadi tidak
menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan
menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).
Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral
adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam setiap diri pribadi
manusia yang bersifat universal. Manusia dalam dirinya secara
kategoris sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu
baik atau buruk, dan keharusan untuk melakukan kebaikan dan
tidak melakukan keburukan harus dilakukan sebagai perintah
tanpa syarat (imperatif
kategoris).
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi,
misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat yang harus
dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya
tujuan-tujuan tertentu yang akan diraih, namun karena secara
moral setiap orang sudah memahami bahwa korupsi adalah
tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun. Etika deontologi
menekankan bahwa kebijakan/tindakan harus didasari oleh
motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan
pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono,
2008: 7).
Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah
kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan otonomi bebas. Setiap
tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari
oleh kewajiban moral dan demi kewajiban moral itu. Tindakan
itu baik bila didasari oleh kemauan baik dan kerja keras dan
sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan itu, dan tindakan
yang baik adalah didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada
paksaan dari luar.
2. Etika
Teleologi
Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika
deontologi, yaitu bahwa baik buruk suatu tindakan dilihat
berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika
teleologi membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab
apabila dihadapkan pada situasi konkrit ketika dihadapkan pada
dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang
lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi bersifat
situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik
meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain.
Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos.
Dalam keadaan seperti ini maka memenuhi kewajiban sering
sulit dilakukan. Contoh sederhana kewajiban mengenakan helm
bagi pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus
pada satu tujuan yaitu mencari keselamatan. Kewajiban
membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi karena
kehilangan seluruh harta benda. Dalam keadaan demikian etika
teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi akibat baik,
beberapa kewajiban mendapat toleransi tidak dipenuhi.
Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat yang baik
itu, baik menurut siapa? Apakah baik menurut pelaku atau
menurut orang lain? Atas pertanyaan ini, etika teleologi dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme
a) Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik
adalah tindakan yang berakibat baik untuk pelakunya.
Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar
kebahagiaan untuk dirinya dan dianggap salah atau
buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan
dirugikan.
b) Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu
perbuatan tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang.
Tindakan dikatakan baik apabila
mendatangkan kemanfaatan yang besar dan
memberikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkin
orang. Di dalam menentukan suatu tindakan yang
dilematis maka yang pertama adalah dilihat mana yang
memiliki tingkat kerugian paling kecil dan kedua dari
kemanfaatan itu mana yang paling menguntungkan bagi
banyak orang, karena bisa jadi kemanfaatannya besar
namun hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil orang
saja.
Etika utilitarianisme ini tidak terpaku pada nilai atau
norma yang ada karena pandangan nilai dan norma
sangat mungkin memiliki keragaman. Namun setiap
tindakan selalu dilihat apakah akibat yang ditimbulkan
akan memberikan manfaat bagi banyak orang atau tidak.
Kalau tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian
kecil orang atau bahkan merugikan maka harus dicari
alternatif-alternatif tindakan yang lain. Etika
utilitarianisme lebih bersifat realistis, terbuka terhadap
beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada
kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan
banyak orang. Utilitarians
try to produce maximum
pleasure and minimum pain, counting their own pleasure
and pain as no more or less important than anyone else’s
(Wenz, 2001: 86).
Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika
egoisme, bahwa kemanfaatan banyak orang-lah yang lebih
diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya,
karena kemanfaatan itu harus dibagi kepada yang lain.
Utilitarianisme, meskipun demikian, juga memiliki
kekurangan. Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam
kelemahan etika ini, yaitu:
(1) Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak
berarti akan ada sebagian masyarakat yang
dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian
utilitarianisme membenarkan adanya ketidakadilan
terutama terhadap minoritas.
(2) Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat
kemanfaatan itu dari sisi yang kuantitasmaterialistis,
kurang memperhitungkan manfaat
yang non-material seperti kasih sayang, nama baik,
hak dan lain-lain.
(3) Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari
segi material yang tentu terkait dengan masalah
ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut
hal-hal yang ideal seperti nasionalisme, martabat
bangsa akan terabaikan, misal atas nama
memasukkan investor asing aset-aset negara dijual
kepada pihak asing, atau atas nama meningkatkan
devisa negara pengiriman TKW ditingkatkan. Hal
yang menimbulkan problem besar adalah ketika
lingkungan dirusak atas nama untuk
menyejahterakan masyarakat.
(4) Kemanfaatan yang dipandang oleh etika
utilitarianisme sering dilihat dalam jangka pendek,
tidak melihat akibat jangka panjang. Padahal, misal
dalam persoalan lingkungan, kebijakan yang
dilakukan sekarang akan memberikan dampak
negatif pada masa yang akan datang.
(5) Karena etika utilitarianisme tidak menganggap
penting nilai dan norma, tapi lebih pada orientasi
hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan
norma atas nama kemanfaatan yang besar, misalnya
perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
(6) Etika utilitarianisme mengalami kesulitan
menentukan mana yang lebih diutamakan kemanfaatan
yang besar namun dirasakan oleh
sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang lebih
banyak dirasakan banyak orang meskipun
kemanfaatannya kecil.
Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme
membedakannya dalam dua tingkatan, yaitu utilitarianisme
aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka pertama, setiap
kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan
dengan nilai dan norma atau tidak. Kalau bertentangan maka
kebijakan dan tindakan tersebut harus ditolak meskipun
memiliki kemanfaatan yang besar. Kedua,
kemanfaatan harus
dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang
non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan
lingkungan dsb. Ketiga, terhadap masyarakat yang dirugikan
perlu pendekatan personal dan kompensasi yang memadai
untuk memperkecil kerugian material dan non-material.
3. Etika
Keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan,
tidak juga mendasarkan pada penilaian moral pada
kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada
pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.
Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik,
melainkan menjadi orang yang baik. Karakter moral ini
dibangun dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan
baik yang dilakukan oleh para tokoh besar. Internalisasi ini
dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang didalamnya
mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru
oleh masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah ketika
terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka tokohtokoh
yang dijadikan panutan juga beragam sehingga
keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan
sosial.
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan
cara mengarahkan keteladanan tidak pada figur tokoh,
tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu
sendiri, sehingga akan ditemukan prinsip-prinsip umum
tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.
Selanjutnya akan dibahas tentang etika Pancasila
sebagai suatu aliran etika alternatif, baik dalam konteks
keindonesiaan maupun keilmuan secara lebih luas.
C. Etika Pancasila
Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau
bertentangan dengan aliran-aliran besar etika yang
mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan
pengembangan karakter moral, namun justru merangkum dari
aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila adalah etika yang
mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila,
yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila
tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga
sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai
Pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup
dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan
bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga
bersifat universal dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun.
Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang
sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Nilai yang
pertama adalah ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa
dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut
nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan
diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik
apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum
Tuhan. Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan
bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaidah dan
hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara
manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk.
Misalnya pelanggaran akan kaidah Tuhan tentang menjalin
hubungan kasih sayang antarsesama akan menghasilkan
konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaidah Tuhan untuk
melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam, dan
lain-lain
Nilai yang kedua adalah kemanusiaan. Suatu
perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan
Pancasila adalah keadilan dan keadaban. Keadilan
mensyaratkan keseimbangan, antara lahir dan batin,
jasmani dan rohani, individu dan sosial, makhluk bebas
mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum
Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia
dibanding dengan makhluk lain, yaitu hewan, tumbuhan,
dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu dikatakan
baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.
Nilai yang ketiga adalah persatuan. Suatu perbuatan
dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan dan
kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan
perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah
persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-akan
mendasarkan perbuatannya atas nama agama (sila ke-1),
namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah
persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika
Pancasila bukan merupakan perbuatan baik.
Nilai yang keempat adalah kerakyatan. Dalam kaitan
dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat
penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan
permusyawaratan. Kata hikmat/kebijaksanaan berorientasi
pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi.
Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum
tentu kalah dibanding mayoritas. Pelajaran yang sangat
baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila
pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI
menyetujui tujuh kata tersebut, namun memperhatikan
kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara
argumentatif dan realistis bisa diterima, maka pandangan
minoritas ‘dimenangkan’ atas pandangan mayoritas.
Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila
disetujui/bermanfaat untuk orang banyak, namun
perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang
didasarkan pada konsep hikmah/kebijaksanaan.
Nilai yang kelima adalah keadilan. Apabila dalam sila
kedua disebutkan kata adil, maka kata tersebut lebih dilihat
dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai
keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada konteks
sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai
dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut
Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan kebajikan utama
bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan
mengandaikan sesama sebagai partner
yang bebas dan
sama derajatnya dengan orang lain.
Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka
Pancasila dapat menjadi sistem etika yang sangat kuat, nilai-nilai
yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga realistis
dan aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa
keberadaan nilai mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila
merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita
bangsa Indonesia yang harus diwujudkan dalam realitas
kehidupan. Nilai-nilai tersebut dalam istilah Notonagoro
merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal, yaitu
nilai yang melingkupi realitas kemanusiaan di manapun,
kapanpun dan merupakan dasar bagi setiap tindakan dan
munculnya nilai-nilai yang lain. Sebagai contoh, nilai ketuhanan
akan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi.
Nilai kemanusiaan, menghasilkan nilai kesusilaan, tolong
menolong, penghargaan, penghormatan, kerjasama, dan lain-lain.
Nilai persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan
dll. Nilai kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan,
kesetaraan, dll. Nilai keadilan menghasilkan nilai kepedulian,
kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dll.
0 Response to "PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA."
Post a Comment