Pancasila Era Reformasi
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral
etik bagi negara dan aparat pelaksana Negara, dalam
kenyataannya digunakan sebagai
alat legitimasi politik. Puncak
dari keadaan tersebut ditandai
dengan hancurnya ekonomi
nasional, maka timbullah
berbagai gerakan masyarakat
yang dipelopori oleh mahasiswa,
cendekiawan dan masyarakat
sebagai gerakan moral politik
yang menuntut adanya “reformasi” di segala bidang politik,
ekonomi dan hukum (Kaelan, 2000: 245).
Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap
Pancasila. Dasar Negara itu untuk sementara waktu seolah
dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde
Baru. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal
dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara
menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui
indoktrinasi (Ali, 2009: 50).
Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila
pada Era Reformasi ini, pada awalnya memang tidak
nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun
semakin hari dampaknya makin terasa dan berdampak
sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia. Dalam kehidupan sosial, masyarakat kehilangan
kendali atas dirinya, akibatnya terjadi konflik-konflik
horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya
melemahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa
dan negara Indonesia. Dalam bidang budaya, kesadaran
masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai
luntur, yang pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian
bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda.
Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan-ketimpangan
di berbagai sektor diperparah lagi dengan cengkeraman
modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang
politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh
aktivitas politik seolah-olah hanya tertuju pada
kepentingan kelompok dan golongan. Lebih dari itu,
aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido dominandi
atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suatu
aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional yang pada
akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara
seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).
Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi
dasar Negara Republik Indonesia secara normatif,
tercantum dalam ketetapan MPR. Ketetapan MPR Nomor
XVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945
adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam
kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus
dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan
menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara,
Pancasila pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan
dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat
(3) yang menyebutkan,
“Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila
sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh
Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang-
Undang Dasar 1945”.
Semakin memudarnya Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara membuat
khawatir berbagai lapisan elemen masyarakat. Oleh sebab
itu, sekitar tahun 2004 Azyumardi Azra menggagas
perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai faktor integratif dan
salah satu fundamen identitas nasional. Seruan demikian
tampak signifikan karena proses amandeman UUD 1945
saat itu sempat memunculkan gagasan menghidupkan
kembali Piagam Jakarta (Ali, 2009: 51). Selain keadaan di
atas, juga terjadi terorisme yang mengatasnamakan agama.
Tidak lama kemudian muncul gejala Perda Syariah di
sejumlah daerah. Rangkaian gejala tersebut seakan
melengkapi kegelisahan publik selama reformasi yang
mempertanyakan arah gerakan reformasi dan
demokratisasi. Seruan Azyumardi Azra direspon sejumlah
kalangan. Diskursus tentang Pancasila kembali menghangat
dan meluas usai Simposium Peringatan Hari Lahir
Pancasila yang diselenggarakan FISIP-UI pada tanggal 31
Mei 2006 (Ali, 2009: 52). Sekretariat Wapres Republik
Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara intensif
melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi
nilai-nilai Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga
membentuk Tim Pengkajian Pendidikan Pancasila di
Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan
tinggi telah menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu
antara lain: Kongres Pancasila di Universitas Gadjah Mada,
Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan Kebangsaan
di Universitas Pendidikan Indonesia, dan Kongres Pancasila
di Universitas Udayana. Lebih dari itu MPR-RI melakukan
kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang dikenal
dengan sebutan “Empat Pilar Kebangsaan”, yang terdiri
dari: Pancasila, Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Akan tetapi, istilah “Empat Pilar Kebangsaan” ini
menurut Kaelan (2012: 249-252) mengandung; 1) linguistic
mistake (kesalahan
linguistik) atau dapat pula dikatakan
kesalahan terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak
mengacu pada realitas empiris sebagaimana terkandung
dalam ungkapan bahasa, melainkan mengacu pada suatu
pengertian atau ide, ‘berbangsa dan bernegara’ itu
dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar); 3)
kesalahan kategori (category
mistake), karena secara
epistemologis kategori pengetahuan Pancasila, Undang-
Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori
yang sama. Ketidaksamaan itu berkaitan dengan realitas
atau hakikat pengetahuannya, wujud pengetahuan,
kebenaran pengetahuannya serta koherensi
pengetahuannya.
Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk
mensosialisasikan kembali Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa:
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum negara adalah sesuai
dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea
keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis
negara sehingga setiap materi muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila.
Hal tersebut berkorelasi bahwa Undang-Undang ini
penekanannya pada kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara. Sudah barang tentu hal tersebut tidak cukup.
Pancasila dalam kedudukannya sebagai pandangan hidup
bangsa perlu dihayati dan diamalkan oleh seluruh
komponen bangsa. Kesadaran ini mulai tumbuh kembali,
sehingga cukup banyak lembaga pemerintah di pusat yang
melakukan kegiatan pengkajian sosialisasi nilai-nilai
Pancasila. Salah satu kebijakan nasional yang sejalan
dengan semangat melestarikan Pancasila di kalangan
mahasiswa adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12
tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan
bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata
kuliah Agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa
Indonesia.
Makna penting dari kajian historis Pancasila ini ialah
untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Karena itu seluruh komponen bangsa harus
secara imperatif kategoris menghayati dan melaksanakan
Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai
Pandangan Hidup Bangsa, dengan berpedoman kepada
nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan secara
konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal
UUD 1945.
0 Response to "SEJARAH PANCASILA PADA ERA REFORMASI."
Post a Comment