Pokok-pokok pikiran persatuan, keadilan sosial,
kedaulatan rakyat, dan Ketuhanan Yang Maha Esa
yang
terkandung dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945
merupakan pancaran dari Pancasila. Empat pokok
pikiran
tersebut mewujudkan cita-cita hukum yang
menguasai
hukum dasar negara, yaitu Undang-Undang Dasar
Negara
Republik Indonesia tahun 1945.
Penjabaran keempat pokok pikiran Pembukaan ke
dalam pasal-pasal UUD NRI tahun 1945 mencakup
empat
aspek kehidupan bernegara, yaitu: politik,
ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan yang disingkat
menjadi
POLEKSOSBUD HANKAM. Aspek politik dituangkan
dalam
pasal 26, pasal 27 ayat (1), dan pasal 28. Aspek
ekonomi
dituangkan dalam pasal 27 ayat (2), pasal 33, dan
pasal 34.
Aspek sosial budaya dituangkan dalam pasal 29,
pasal 31,
dan pasal 32. Aspek pertahanan keamanan
dituangkan
dalam pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 (Bakry,
2010: 276).
Pasal 26 ayat (1) dengan tegas mengatur
siapa-siapa
saja yang dapat menjadi warga negara Republik
Indonesia.
Selain orang berkebangsaan Indonesia asli, orang
berkebangsaan lain yang bertempat tinggal di
Indonesia,
mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan
bersikap
setia kepada Negara Republik Indonesia yang
disahkan
oleh undang-undang sebagai warga negara dapat
juga
menjadi warga negara Republik Indonesia. Pasal 26
ayat
(2) menyatakan bahwa penduduk ialah warga negara
Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal
di
Indonesia. Adapun pada pasal 29 ayat (3)
dinyatakan
bahwa syarat-syarat menjadi warga negara dan
penduduk
Indonesia diatur dengan undang-undang.
Pasal 27 ayat (1) menyatakan kesamaan kedudukan
warga negara di dalam hukum dan pemerintahan
dengan
tidak ada kecualinya. Ketentuan ini menunjukkan
adanya
keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan tidak
ada
diskriminasi di antara warga negara baik mengenai
haknya
maupun mengenai kewajibannya.
Pasal 28 menetapkan hak warga negara dan
penduduk untuk berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya,
yang
diatur dengan undang-undang. Dalam ketentuan ini,
ditetapkan adanya tiga hak warga negara dan
penduduk
yang digabungkan menjadi satu, yaitu: hak
kebebasan
berserikat, hak kebebasan berkumpul, dan hak
kebebasan
untuk berpendapat.
Pasal 26, 27 ayat (1), dan 28 di atas adalah
penjabaran dari pokok-pokok pikiran kedaulatan
rakyat
dan kemanusiaan yang adil dan beradab yang
masingmasing
merupakan pancaran dari sila keempat dan kedua
Pancasila. Kedua pokok pikiran ini adalah
landasan bagi
kehidupan nasional bidang politik di negara
Republik
Indonesia.
Berdasarkan penjabaran kedua pokok pikiran
tersebut, maka pembuatan kebijakan negara dalam
bidang
politik harus berdasar pada manusia yang
merupakan
subjek pendukung Pancasila, sebagaimana dikatakan
oleh
Notonagoro (1975: 23) bahwa yang berketuhanan,
berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan
berkeadilan adalah manusia. Manusia adalah subjek
negara
dan oleh karena itu politik negara harus berdasar
dan
merealisasikan harkat dan martabat manusia di dalamnya.
Hal ini dimaksudkan agar sistem politik negara
dapat
menjamin hak-hak asasi manusia.
Dengan kata lain, pembuatan kebijakan negara dalam
bidang politik di Indonesia harus memperhatikan
rakyat
yang merupakan pemegang kekuasaan atau kedaulatan
berada di tangan rakyat. Rakyat merupakan asal
mula
kekuasaan dan oleh karena itu, politik Indonesia
yang
dijalankan adalah politik yang bersumber dari
rakyat,
bukan dari kekuasaan perseorangan atau kelompok
dan
golongan, sebagaimana ditunjukkan oleh Kaelan
(2000:
238) bahwa sistem politik di Indonesia bersumber
pada
penjelmaan hakikat manusia sebagai makhluk
individu dan
makhluk sosial dalam wujud dan kedudukannya
sebagai
rakyat.
Selain itu, sistem politik yang dikembangkan
adalah
sistem yang memperhatikan Pancasila sebagai
dasar-dasar
moral politik. Dalam hal ini, kebijakan negara
dalam bidang
politik harus mewujudkan budi pekerti kemanusiaan
dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur
untuk
mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap
warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak
bagi kemanusiaan. Ketentuan ini memancarkan asas
kesejahteraan atau asas keadilan sosial dan
kerakyatan
yang merupakan hak asasi manusia atas penghidupan
yang
layak.
Pasal 33 ayat (1) menyatakan perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan,
sedangkan pada ayat (2) ditetapkan bahwa
cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,
dan pada
ayat (3) ditegaskan bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran 44
rakyat. Ayat (1) pada pasal ini menunjukkan
adanya hak
asasi manusia atas usaha perekonomian, sedangkan
ayat
(2) menetapkan adanya hak asasi manusia atas
kesejahteraan sosial.
Selanjutnya pada pasal 33 ayat (4) ditetapkan
bahwa
perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sesuai
dengan
pernyataan ayat (5) pasal ini, maka pelaksanaan
seluruh
ayat dalam pasal 33 diatur dalam undang-undang.
Pasal 34 ayat (1) mengatur bahwa fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Ketentuan
dalam ayat (2) ini menegaskan adanya hak asasi
manusia
atas jaminan sosial.
Adapun pada pasal 34 ayat (4) ditetapkan bahwa
negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang
layak. Pelaksanaan mengenai isi pasal ini,
selanjutnya
diatur dalam undang-undang, sebagaimana
dinyatakan
pada ayat (5) pasal 34 ini.
Pasal 27 ayat (2), pasal 33, dan pasal 34 di atas
adalah
penjabaran dari pokok-pokok pikiran kedaulatan
rakyat
dan keadilan sosial yang masing-masing merupakan
pancaran dari sila keempat dan kelima Pancasila.
Kedua
pokok pikiran ini adalah landasan bagi
pembangunan
sistem ekonomi Pancasila dan kehidupan ekonomi
nasional.
Berdasarkan penjabaran pokok-pokok pikiran
tersebut, maka pembuatan kebijakan negara dalam
bidang
ekonomi di Indonesia dimaksudkan untuk
menciptakan
sistem perekonomian yang bertumpu pada
kepentingan
rakyat dan berkeadilan. Salah satu pemikiran yang
sesuai
dengan maksud ini adalah gagasan ekonomi
kerakyatan
yang dilontarkan oleh Mubyarto, sebagaimana
dikutip oleh
Kaelan (2000: 239), yaitu pengembangan ekonomi
bukan
hanya mengejar pertumbuhan, melainkan demi
kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa.
Dengan
kata lain, pengembangan ekonomi tidak bisa
dipisahkan
dengan nilai-nilai moral kemanusiaan.
Dengan demikian, sistem perekonomian yang
berdasar pada Pancasila dan yang hendak
dikembangkan
dalam pembuatan kebijakan negara bidang ekonomi
di
Indonesia harus terhindar dari sistem persaingan
bebas,
monopoli dan lainnya yang berpotensi menimbulkan
penderitaan rakyat dan penindasan terhadap sesama
manusia. Sebaliknya, sistem perekonomian yang
dapat
dianggap paling sesuai dengan upaya
mengimplementasikan Pancasila dalam bidang
ekonomi
adalah sistem ekonomi kerakyatan, yaitu sistem
ekonomi
yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan
rakyat
secara luas.
Pasal 29 ayat (1) menyatakan negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Penjelasan
Undang-
Undang Dasar, ayat (1) pasal 29 ini menegaskan
kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang
Maha
Esa. Adapun dalam pasal 29 ayat (2) ditetapkan
bahwa
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat
menurut
agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan ini
jelas
merupakan pernyataan tegas tentang hak asasi
manusia
atas kemerdekaan beragama.
Pasal 31 ayat (1) menetapkan setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan. Ketentuan ini
menegaskan
bahwa mendapat pendidikan adalah hak asasi
manusia.
Selanjutnya pada ayat (2) pasal ini dikemukakan
bahwa
setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar, dan
pemerintah wajib membiayainya. Dari ayat (2)
pasal ini
diperoleh pemahaman bahwa untuk mengikuti
pendidikan
dasar merupakan kewajiban asasi manusia. Sebagai
upaya
memenuhi kewajiban asasi manusia itu, maka dalam
ayat
(3) pasal ini diatur bahwa pemerintah wajib
mengusahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta
akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang
diatur dalam undang-undang. Demikian pula, dalam
rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, maka dalam ayat
(4)
pasal 31 ini ditetapkan bahwa negara
memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua
puluh
persen) dari APBN (Anggaran Pendapatan dan
Belanja
Negara) serta dari APBD (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah) untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Dalam pasal
31 ayat
(5) ditetapkan pula bahwa pemerintah memajukan
ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilainilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pasal 32 ayat (1) menyatakan negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia
dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya.
Ketentuan menegaskan mengembangkan nilai-nilai
budaya
merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya, ayat
(2) pasal
32 menyatakan negara menghormati dan memelihara
bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Pasal 29, pasal 31, dan pasal 32 di atas adalah
penjabaran dari pokok-pokok pikiran Ketuhanan
Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan
persatuan yang masing-masing merupakan pancaran
dari
sila pertama, kedua, dan ketiga Pancasila. Ketiga
pokok
pikiran ini adalah landasan bagi pembangunan
bidang
kehidupan keagamaan, pendidikan, dan kebudayaan
nasional.
Berdasarkan penjabaran pokok-pokok pikiran
tersebut, maka implementasi Pancasila dalam
pembuatan
kebijakan negara dalam bidang sosial budaya
mengandung
pengertian bahwa nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang
dalam masyarakat Indonesia harus diwujudkan dalam
proses pembangunan masyarakat dan kebudayaan di
Indonesia. Menurut Koentowijoyo, sebagaimana
dikutip
oleh Kaelan (2000: 240), sebagai kerangka
kesadaran,
Pancasila dapat merupakan dorongan untuk: 1)
universalisasi, yaitu melepaskan simbol-simbol
dari
keterkaitan struktur; dan 2) transendentalisasi,
yaitu
meningkatkan derajat kemerdekaan, manusia, dan
kebebasan spiritual. Dengan demikian, Pancasila
sebagai
sumber nilai dapat menjadi arah bagi kebijakan
negara
dalam mengembangkan bidang kehidupan sosial
budaya
Indonesia yang beradab, sesuai dengan sila kedua,
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Selain itu, pengembangan sosial budaya harus
dilakukan dengan mengangkat nilai-nilai yang
dimiliki
bangsa Indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila.
Hal ini tidak
dapat dilepaskan dari fungsi Pancasila sebagai
sebuah
sistem etika yang keseluruhan nilainya bersumber
dari
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang
beradab. Perbenturan kepentingan politik dan
konflik
sosial yang pada gilirannya menghancurkan
sendi-sendi
kehidupan bangsa Indonesia, seperti kebersamaan
atau
gotong royong dan sikap saling menghargai
terhadap
perbedaan suku, agama, dan ras harus dapat
diselesaikan
melalui kebijakan negara yang bersifat humanis
dan
beradab.
Pasal 27 ayat (3) menetapkan bahwa setiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam
pembelaan
negara. Dalam ketentuan ini, hak dan kewajiban
warga
negara merupakan satu kesatuan, yaitu bahwa untuk
turut
serta dalam bela negara pada satu sisi merupakan
hak asasi
manusia, namun pada sisi lain merupakan kewajiban
asasi
manusia.
Pasal 30 ayat (1) menyatakan hak dan kewajiban
setiap warga negara ikut serta dalam usaha
pertahanan dan
keamanan negara. Ketentuan ini menunjukkan bahwa
usaha pertahanan dan keamanan negara adalah hak
dan
kewajiban asasi manusia. Pada ayat (2) pasal 30
ini
dinyatakan bahwa usaha pertahanan dan keamanan
negara
dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan
keamanan
rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia
dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai
kekuatan
utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Selanjutnya pada ayat (3) pasal 30 ini juga
dijelaskan
bahwa Tentara Nasional Indonesia terdiri atas
Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, sebagai
alat negara
bertugas mempertahankan, melindungi, dan
memelihara
keutuhan dan kedaulatan negara. Dalam ayat (4)
pasal 30
dinyatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai
alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum. Ayat (5)
pasal 30
menyatakan susunan dan kedudukan Tentara Nasional
Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia
dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam
menjalankan tugasnya,
syarat-syarat keikutsertaan warga
negara dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara,
serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan
keamanan diatur dengan undang-undang.
Pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 di atas adalah
penjabaran dari pokok pikiran persatuan yang
merupakan
pancaran dari sila pertama Pancasila. Pokok
pikiran ini
adalah landasan bagi pembangunan bidang
pertahanan
keamanan nasional.
Berdasarkan penjabaran pokok pikiran persatuan
tersebut, maka implementasi Pancasila dalam
pembuatan
kebijakan negara dalam bidang pertahanan keamanan
harus diawali dengan kesadaran bahwa Indonesia
adalah
negara hukum. Dengan demikian dan demi tegaknya
hakhak
warga negara, diperlukan peraturan
perundangundangan
negara untuk mengatur ketertiban warga negara
dan dalam rangka melindungi hak-hak warga negara.
Dalam hal ini, segala sesuatu yang terkait dengan
bidang
pertahanan keamanan harus diatur dengan
memperhatikan
tujuan negara untuk melindungi segenap wilayah
dan
bangsa Indonesia.
Pertahanan dan keamanan negara diatur dan
dikembangkan menurut dasar kemanusiaan, bukan
kekuasaan. Dengan kata lain, pertahanan dan
keamanan
Indonesia berbasis pada moralitas kemanusiaan
sehingga
kebijakan yang terkait dengannya harus terhindar
dari
pelanggaran hak-hak asasi manusia. Secara
sistematis,
pertahanan keamanan negara harus berdasar pada
tujuan
tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai
makhluk
Tuhan Yang Maha Esa (Sila pertama dan kedua),
berdasar
pada tujuan untuk mewujudkan kepentingan seluruh
warga sebagai warga negara (Sila ketiga), harus
mampu
menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta
kebebasan kemanusiaan (Sila keempat), dan
ditujukan
untuk terwujudnya keadilan dalam hidup masyarakat
(Sila
kelima). Semua ini dimaksudkan agar pertahanan
dan
keamanan dapat ditempatkan dalam konteks negara
hukum, yang menghindari kesewenang-wenangan
negara
dalam melindungi dan membela wilayah negara dan
bangsa, serta dalam mengayomi masyarakat.
Ketentuan mengenai empat aspek kehidupan
bernegara, sebagaimana tertuang ke dalam
pasal-pasal
UUD NRI tahun 1945 tersebut adalah bentuk nyata
dari
implementasi Pancasila sebagai paradigma
pembangunan
atau kerangka dasar yang mengarahkan pembuatan
kebijakan negara dalam pembangunan bidang
politik,
ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan
di
Indonesia. Berdasarkan kerangka dasar inilah,
pembuatan
kebijakan negara ditujukan untuk mencapai
cita-cita
nasional kehidupan bernegara di Indonesia.
0 Response to "Implementasi Pancasila Dalam Pembuatan Kebijakan Negara Dalam Bidang Politik, Ekonomi, Sosial Budaya Dan Hankam."
Post a Comment