SEJARAH PANCASILA PADA PRA KEMERDEKAAN.



PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA INDONESIA 
 Presiden Soekarno pernah mengatakan “jangan
sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dari perkataan tersebut
dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang
beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf
Yunani yang bernama Cicero (106-43 SM) yang
mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang bermakna,
“sejarah memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih
umum yaitu “sejarah merupakan guru kehidupan”.
Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa
semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita.
Jika mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan citacita
itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah
dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64). Pentingnya cita-cita
ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa
diperkuat oleh cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John
Gardner, “No nation can achieve greatness unless it believes
in something, and unless that something has moral
dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada bangsa
yang dapat mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu
mempercayai sesuatu, dan sesuatu yang dipercayainya itu
memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang
peradaban besar) (Madjid dalam Latif, 2011: 42).
Begitu kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa
bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya sepanjang
masa. Hal tersebut disebabkan ideologi Pancasila tidak
hanya sekedar “confirm and deepen” identitas Bangsa
Indonesia. Ia lebih dari itu. Ia adalah identitas Bangsa
Indonesia sendiri sepanjang masa. Sejak Pancasila digali
kembali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi
Negara, maka ia membangunkan dan membangkitkan
2
identitas yang dormant, yang “tertidur” dan yang “terbius”
selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).











 Pancasila Pra Kemerdekaan

Ketika Dr. Radjiman
Wediodiningrat, selaku Ketua
Badan dan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK), pada tanggal 29 Mei
1945, meminta kepada sidang
untuk mengemukakan dasar
(negara) Indonesia merdeka,
permintaan itu menimbulkan
rangsangan anamnesis yang
memutar kembali ingatan para
pendiri bangsa ke belakang; hal
ini mendorong mereka untuk menggali kekayaan
kerohanian, kepribadian dan wawasan kebangsaan yang
terpendam lumpur sejarah (Latif, 2011: 4). Begitu lamanya
penjajahan di bumi pertiwi menyebabkan bangsa Indonesia
hilang arah dalam menentukan dasar negaranya. Dengan
permintaan Dr. Radjiman inilah, figur-figur negarawan
bangsa Indonesia berpikir keras untuk menemukan
kembali jati diri bangsanya.
Pada sidang pertama BPUPKI yang dilaksanakan dari
tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945, tampil berturut-turut untuk
berpidato menyampaikan
usulannya tentang dasar negara.
Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr.
Muhammad Yamin mengusulkan
calon rumusan dasar negara
Indonesia sebagai berikut: 1) Peri
Kebangsaan, 2) Peri
Kemanusiaan, 3) Peri Ketuhanan, 4) Peri Kerakyatan dan 5)
Kesejahteraan Rakyat.

Selanjutnya Prof. Dr. Soepomo pada
tanggal 30 Mei 1945 mengemukakan teori-teori Negara,
yaitu: 1) Teori negara perseorangan (individualis), 2)
Paham negara kelas dan 3) Paham negara integralistik.
Kemudian disusul oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni
1945 yang mengusulkan lima dasar negara yang terdiri
dari: 1) Nasionalisme (kebangsaan Indonesia), 2)
Internasionalisme (peri kemanusiaan), 3) Mufakat
(demokrasi), 4) Kesejahteraan sosial, dan 5) Ketuhanan
Yang Maha Esa (Berkebudayaan) (Kaelan, 2000: 37-40).
Pada pidato tanggal 1 Juni 1945 tersebut, Ir Soekarno
mengatakan,
“Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah
berpidato, dan dalam pidato mereka itu
diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan
permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu
bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut
anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan
Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda:
Philosofische grond-slag” daripada Indonesia
Merdeka. Philosofische grond-slag itulah
pundamen, filsafat, pikiran yang sedalamdalamnya,
jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya
untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia
yang kekal dan abadi”(Bahar, 1995: 63).
Begitu hebatnya Ir. Soekarno dalam menjelaskan
Pancasila dengan runtut, logis dan koheren, namun dengan
rendah hati Ir. Soekarno membantah apabila disebut
sebagai pencipta Pancasila. Beliau mengatakan,
“Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya,
kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh
sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan
pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali
Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini,
yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu,
saya persembahkan kembali kepada bangsa
Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa
sebenarnya hasil, atau lebih tegas penggalian
daripada Pancasila ini saudara-saudara, adalah
pemberian Tuhan kepada saya… Sebagaimana
tiap-tiap manusia, jikalau ia benar-benar
memohon kepada Allah Subhanahu Wataala,
diberi ilham oleh Allah Subhanahu Wataala”
(Soekarno dalam Latif, 2011: 21).
Selain ucapan yang disampaikan Ir. Soekarno di atas,
Pancasila pun merupakan khasanah budaya Indonesia,
karena nilai-nilai tersebut hidup dalam sejarah Indonesia
yang terdapat dalam beberapa kerajaan yang ada di
Indonesia, seperti berikut:
1. Pada kerajaan Kutai, masyarakat Kutai merupakan
pembuka zaman sejarah Indonesia untuk pertama kali,
karena telah menampilkan nilai sosial politik, dan
Ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri dan
sedekah kepada para Brahmana (Kaelan, 2000: 29).
2. Perkembangan kerajaan Sriwijaya oleh Mr. Muhammad
Yamin disebut sebagai Negara Indonesia Pertama
dengan dasar kedatuan, itu dapat ditemukan nilai-nilai
Pancasila material yang paling berkaitan satu sama lain,
seperti nilai persatuan yang tidak terpisahkan dengan
nilai ke-Tuhanan yang tampak pada raja sebagai pusat
kekuasaan dengan kekuatan religius berusaha
mempertahankan kewibawaannya terhadap para datu.
Demikian juga nilai-nilai kemasyarakatan dan ekonomi
yang terjalin satu sama lain dengan nilai
internasionalisme dalam bentuk hubungan dagang yang
terentang dari pedalaman sampai ke negeri-negeri
seberang lautan pelabuhan kerajaan dan Selat Malaka
yang diamankan oleh para nomad laut yang menjadi
bagian dari birokrasi pemerintahan Sriwijaya
(Suwarno, 1993: 20-21).
3. Pada masa kerajaan Majapahit, di bawah raja Prabhu
Hayam Wuruk dan Apatih Mangkubumi, Gajah Mada
telah berhasil mengintegrasikan nusantara. Faktorfaktor
yang dimanfaatkan untuk menciptakan wawasan
nusantara itu adalah: kekuatan religio magis yang
berpusat pada Sang Prabhu, ikatan sosial kekeluargaan
terutama antara kerajaan-kerajaan daerah di Jawa
dengan Sang Prabhu dalam lembaga Pahom Narandra.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa nilai-nilai religious
sosial dan politik yang merupakan materi Pancasila
sudah muncul sejak memasuki zaman sejarah
(Suwarno, 1993: 23-24). Bahkan, pada masa kerajaan
ini, istilah Pancasila dikenali yang terdapat dalam buku
Nagarakertagama karangan Prapanca dan buku
Sutasoma karangan Empu Tantular. Dalam buku
tersebut istilah Pancasila di samping mempunyai arti
“berbatu sendi yang lima” (dalam bahasa Sansekerta),
juga mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang
lima” (Pancasila Krama), yaitu
1. Tidak boleh melakukan kekerasan
2. Tidak boleh mencuri
3. Tidak boleh berjiwa dengki
4. Tidak boleh berbohong
5. Tidak boleh mabuk minuman keras
(Darmodihardjo, 1978: 6).
Kedua zaman, baik Sriwijaya maupun Majapahit
dijadikan tonggak sejarah karena pada waktu itu bangsa
telah memenuhi syarat-syarat sebagai bangsa yang
mempunyai negara. Baik Sriwijaya maupun Majapahit
waktu itu merupakan negara-negara yang berdaulat,
bersatu serta mempunyai wilayah yang meliputi seluruh
Nusantara. Pada zaman tersebut bangsa Indonesia telah
mengalami kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, tata
tentrem, kerta raharja (Darmodihardjo dkk, 1991: 21).
Selain zaman kerajaan, masih banyak fase-fase yang harus
dilewati menuju Indonesia merdeka hingga tergalinya
Pancasila yang setelah sekian lama tertimbun oleh
penjajahan Belanda.
Sebagai salah satu tonggak sejarah yang
merefleksikan dinamika kehidupan kebangsaan yang
dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila adalah termanifestasi
dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang
berbunyi,
“Kami putra dan putri Indonesia mengaku
bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia;
Kami putra dan putri Indonesia mengaku
berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia.
Penemuan kembali Pancasila sebagai jati diri bangsa
terjadi pada sidang pertama BPUPKI yang dilaksanakan
pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Pada tanggal 1 Juni 1945
di depan sidang BPUPKI, Ir.
Soekarno menyebutkan lima
dasar bagi Indonesia merdeka.
Sungguh pun Ir. Soekarno telah
mengajukan lima sila dari dasar
negara, beliau juga menawarkan
kemungkinan lain, sekiranya ada
yang tidak menyukai bilangan
lima, sekaligus juga cara beliau
menunjukkan dasar dari segala
dasar kelima sila tersebut. Alternatifnya bisa diperas
menjadi Tri Sila bahkan dapat dikerucutkan lagi menjadi
Eka Sila. Tri Sila meliputi: socio-nationalisme, socio
democratie dan ke-Tuhanan. Sedangkan Eka Sila yang
dijelaskan oleh Ir. Soekarno yaitu “Gotong Royong” karena
menurut Ir. Soekarno negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah negara gotong royong (Latif, 2011: 18-19). Tetapi
yang lahir pada tanggal 1 Juni itu adalah nama Pancasila (di
samping nama Trisila dan Ekasila yang tidak terpilih)
(Notosusanto, 1981: 21). Ini bukan merupakan kelemahan
Ir. Soekarno, melainkan merefleksikan keluasan wawasan
dan kesiapan berdialog dari seorang negarawan besar.
Faktanya Ir, Soekarno diakhir sejarah terbukti sebagai
penggali Pancasila, dasar negara Republik Indonesia.

 

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "SEJARAH PANCASILA PADA PRA KEMERDEKAAN."

Post a Comment