Pancasila Sebagai Solusi Persoalan Bangsa dan Negara
Situasi negara
Indonesia saat ini begitu memprihatinkan.
Begitu banyak
masalah menimpa bangsa ini dalam bentuk krisis
yang
multidimensional. Krisis ekonomi, politik, budaya, sosial,
hankam, pendidikan
dan lain-lain, yang sebenarnya berhulu pada
krisis moral.
Tragisnya, sumber krisis justru berasal dari badanbadan
yang ada di negara
ini, baik eksekutif, legislatif maupun
yudikatif, yang notabene
badan-badan inilah yang seharusnya
mengemban amanat
rakyat. Setiap hari kita disuguhi beritaberita
mal-amanah
yang dilakukan oleh orang-orang yang
dipercaya rakyat
untuk menjalankan mesin pembangunan ini.
Sebagaimana telah
dikatakan bahwa moralitas memegang
kunci sangat
penting dalam mengatasi krisis. Kalau krisis moral
sebagai hulu dari
semua masalah, maka melalui moralitas pula
krisis dapat
diatasi. Indikator kemajuan bangsa tidak cukup
diukur hanya dari
kepandaian warganegaranya, tidak juga dari
kekayaan alam yang
dimiliki, namun hal yang lebih mendasar
adalah sejauh mana
bangsa tersebut memegang teguh moralitas.
Moralitas memberi
dasar, warna sekaligus penentu arah
tindakan suatu
bangsa. Moralitas dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu moralitas
individu, moralitas sosial dan moralitas mondial.
Moralitas individu
lebih merupakan kesadaran tentang
prinsip baik yang
bersifat ke dalam, tertanam dalam diri manusia
yang akan
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Seorang
yang memiliki moralitas
individu yang baik akan muncul dalam
sikap dan perilaku
seperti sopan, rendah hati, tidak suka
menyakiti orang
lain, toleran, suka menolong, bekerja keras,
rajin belajar,
rajin ibadah dan lain-lain. Moralitas ini muncul dari
dalam, bukan karena
dipaksa dari luar. Bahkan, dalam situasi
amoral yang terjadi
di luar dirinya, seseorang yang memiliki
moralitas individu
kuat akan tidak terpengaruh. Moralitas
individu ini
terakumulasi menjadi moralitas sosial, sehingga
akan tampak
perbedaan antara masyarakat yang bermoral tinggi
dan rendah. Adapun
moralitas mondial adalah moralitas yang
bersifat universal
yang berlaku di manapun dan kapanpun,
moralitas yang
terkait dengan keadilan, kemanusiaan,
kemerdekaan, dan
sebagainya.
Moralitas sosial
juga tercermin dari moralitas individu
dalam melihat
kenyataan sosial. Bisa jadi seorang yang moral
individunya baik
tapi moral sosialnya kurang, hal ini terutama
terlihat pada
bagaimana mereka berinteraksi dengan
masyarakat yang
majemuk. Sikap toleran, suka membantu
seringkali hanya
ditujukan kepada orang lain yang menjadi
bagian kelompoknya,
namun tidak toleran kepada orang di luar
kelompoknya.
Sehingga bisa dikatakan bahwa moral sosial tidak
cukup sebagai
kumpulan dari moralitas individu, namun
sesungguhnya lebih
pada bagaimana individu melihat orang lain
sebagai manusia
yang memiliki harkat dan martabat
kemanusiaan yang
sama.
Moralitas individu
dan sosial memiliki hubungan sangat
erat bahkan saling
tarik-menarik dan mempengaruhi. Moralitas
individu dapat
dipengaruhi moralitas social, demikian pula
sebaliknya.
Seseorang yang moralitas individunya baik ketika
hidup di lingkungan
masyarakat yang bermoral buruk dapat
terpengaruh menjadi
amoral. Kenyataan seperti ini seringkali
terjadi pada
lingkungan pekerjaan. Ketika lingkungan pekerjaan
berisi orang orang
yang bermoral buruk, maka orang yang
bermoral baik akan
dikucilkan atau diperlakukan tidak adil.
Seorang yang
moralitas individunya lemah akan terpengaruh
untuk menyesuaikan
diri dan mengikuti. Namun sebaliknya,
seseorang yang
memiliki moralitas individu baik akan tidak
terpengaruh bahkan
dapat mempengaruhi lingkungan yang
bermoral buruk
tersebut.
Moralitas dapat
dianalogikan dengan seorang kusir kereta
kuda yang mampu
mengarahkan ke mana kereta akan berjalan.
Arah perjalanan
kereta tentu tidak lepas dari ke mana tujuan
hendak dituju.
Orang yang bermoral tentu mengerti mana arah
yang akan dituju,
sehingga pikiran dan langkahnya akan
diarahkan kepada
tujuan tersebut, apakah tujuannya hanya
untuk kesenangan
duniawi diri sendiri saja atau untuk
kesenangan orang
lain atau lebih jauh untuk kebahagiaan
ruhaniah yang lebih
abadi, yaitu pengabdian pada Tuhan.
Pelajaran yang
sangat berharga dapat diteladani dari para
pendahulu kita yang
berjuang demi meraih kemerdekaan.
Moralitas individu
dan sosial yang begitu kuat dengan dipayungi
moralitas mondial
telah membuahkan hasil dari cita-cita mereka,
meskipun mereka
banyak yang tidak sempat merasakan buah
perjuangannya
sendiri. Dasar moral yang melandasi perjuangan
mereka terabadikan
dalam Pembukaan Undang Undang Dasar
Negara Republik
Indonesia tahun 1945 yang termuat dalam
alinea-alineanya.
Alinea pertama,
“bahwa kemerdekaan itu adalah hak
segala bangsa, oleh
karena itu penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan”.
Alinea ini menjadi payung moral para pejuang kita
bahwa telah terjadi
pelanggaran hak atas kemerdekaan pada
bangsa kita.
Pelanggaran atas hak kemerdekaan itu sendiri
merupakan
pelanggaran atas moral mondial, yaitu
perikemanusiaan dan
perikeadilan. Apapun bentuknya
penjajahan telah
meruntuhkan nilai-nilai hakiki manusia.
Apabila ditilik
dari Pembukaan UUD Negara Republik
Indonesia tahun
1945 tampak jelas bahwa moralitas sangat
mendasari
perjuangan merebut kemerdekaan dan bagaimana
mengisinya. Alasan
dasar mengapa bangsa ini harus merebut
kemerdekaan karena
penjajahan bertentangan dengan nilai
kemanusiaan dan
keadilan (alinea I). Secara eksplisit founding
fathers
menyatakan bahwa kemerdekaan dapat diraih karena
rahmat Allah dan
adanya keinginan luhur bangsa (alinea III). Ada
perpaduan antara
nilai ilahiah dan nilai humanitas yang saling
berkelindan.
Selanjutnya, di dalam membangun negara ke depan
diperlukan
dasar-dasar nilai yang bersifat universal, yaitu nilai
ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Moralitas, saat ini
menjadi barang yang sangat mahal
karena semakin
langka orang yang masih betul-betul memegang
moralitas tersebut.
Namun dapat juga dikatakan sebagai barang
murah karena banyak
orang menggadaikan moralitas hanya
dengan beberapa
lembar uang. Ada keterputusan (missing link)
antara alinea I,
II, III dengan alinea IV. Nilai-nilai yang
seharusnya menjadi
dasar sekaligus tujuan negara ini telah
digadaikan dengan
nafsu berkuasa dan kemewahan harta.
Egoisme telah
mengalahkan solidaritas dan kepedulian pada
sesama. Lalu
bagaimana membangun kesadaran moral anti
korupsi berdasarkan
Pancasila?
Korupsi secara
harafiah diartikan sebagai kebusukan,
keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak
bermoral,
penyimpangan dari kesucian (Tim Penulis Buku Pendidikan anti korupsi, 2011:
23). Kasus korupsi yang terjadi di
Indonesia semakin
menunjukkan ekskalasi yang begitu tinggi.
Oleh karenanya,
penyelesaian korupsi harus diselesaikan melalui
beragam
cara/pendekatan, yang dalam hal ini saya
menggunakan istilah
pendekatan eksternal maupun internal.
Pendekatan
eksternal yang dimaksud adalah adanya unsur dari
luar diri manusia
yang memiliki kekuatan ‘memaksa’ orang
untuk tidak
korupsi. Kekuatan eksternal tersebut misalnya
hukum, budaya dan
watak masyarakat. Dengan penegakan
hukum yang kuat,
baik dari aspek peraturan maupun aparat
penegak hokum, akan
mengeliminir terjadinya korupsi.
Demikian pula
terciptanya budaya dan watak masyarakat yang
anti korupsi juga
menjadikan seseorang enggan untuk
melakukan korupsi.
Adapun kekuatan internal adalah kekuatan
yang muncul dari
dalam diri individu dan mendapat penguatan
melalui pendidikan
dan pembiasaan. Pendidikan yang kuat
terutama dari
keluarga sangat penting untuk menanamkan jiwa
anti korupsi,
diperkuat dengan pendidikan formal di sekolah
maupun non-formal
di luar sekolah.
Maksud dari
membangun kesadaran moral anti korupsi
berdasar Pancasila
adalah membangun mentalitas melalui
penguatan eksternal
dan internal tersebut dalam diri
masyarakat. Di
perguruan tinggi penguatan tersebut dapat
dilakukan melalui
pendidikan kepribadian termasuk di
dalamnya pendidikan
Pancasila. Melihat realitas di kelas bahwa
mata kuliah
Pendidikan Pancasila sering dikenal sebagai mata
kuliah yang
membosankan, maka dua hal pokok yang harus
dibenahi adalah
materi dan metode pembelajaran. Materi harus
selalu up
to date dan metode pembelajaran juga harus inovatif
menggunakan
metode-metode pembelajaran yang
dikembangkan.
Pembelajaran tidak hanya kognitif, namun harus
menyentuh aspek afektif dan konatif.
Nilai-nilai
Pancasila apabila betul-betul dipahami, dihayati
dan diamalkan tentu
mampu menurunkan angka korupsi.
Penanaman satu sila
saja, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
apabila bangsa
Indonesia menyadari jati dirinya sebagai
makhluk Tuhan,
tentu tidak akan mudah menjatuhkan martabat
dirinya ke dalam
kehinaan dengan melakukan korupsi.
Perbuatan korupsi
terjadi karena hilangnya kontrol diri dan
ketidakmampuan
untuk menahan diri melakukan kejahatan.
Kebahagiaan
material dianggap segala-galanya dibanding
kebahagiaan
spiritual yang lebih agung, mendalam dan jangka
panjang. Keinginan
mendapatkan kekayaan dan kedudukan
secara cepat
menjadikannya nilai-nilai agama dikesampingkan.
Kesadaran manusia
akan nilai ketuhanan ini, secara
eksistensial akan
menempatkan manusia pada posisi yang sangat
tinggi. Hal ini
dapat dijelaskan melalui hirarki eksistensial
manusia, yaitu dari
tingkatan yang paling rendah, penghambaan
terhadap harta (hal
yang bersifat material), lebih tinggi lagi
adalah penghambaan
terhadap manusia, dan yang paling tinggi
adalah penghambaan
pada Tuhan. Manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan yang
paling sempurna tentu tidak akan
merendahkan dirinya
diperhamba oleh harta, namun akan
menyerahkan diri
sebagai hamba Tuhan. Buah dari pemahaman
dan penghayatan
nilai ketuhanan ini adalah kerelaan untuk
diatur Tuhan,
melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan
yang dilarang-Nya.
Penanaman satu
nilai tentunya tidak cukup dan memang
tidak bisa dalam
konteks Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila
merupakan kesatuan
organis yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain.
Dengan demikian, akan menjadi kekuatan
moral besar
manakala keseluruhan nilai Pancasila yang meliputi
nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan dijadikan
landasan moril dan diejawantahkan dalam
seluruh kehidupan
berbangsa dan bernegara, terutama dalam
pemberantasan
korupsi.
Penanaman nilai
sebagaimana tersebut di atas paling
efektif adalah
melalui pendidikan dan media. Pendidikan
informal di
keluarga harus menjadi landasan utama dan
kemudian didukung
oleh pendidikan formal di sekolah dan nonformal
di masyarakat.
Peran media juga sangat penting karena
memiliki daya
jangkau dan daya pengaruh yang sangat kuat bagi
masyarakat. Media
harus memiliki visi dan misi mendidik bangsa
dan membangun
karakter masyarakat yang maju namun tetap
berkepribadian Indonesia.
Daftar
Pustaka
Keraf, Sonny, 2002,
Etika Lingkungan, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta.
Kohleberg,
Lawrence, 1995, Tahap-tahap Perkembangan Moral,
Kanisius,
Yogyakarta.
Kuswanjono, Arqom,
2008, ”Etika Keanekaragaman Hayati”,
Makalah Seminar
Nasional “Bioetika Lingkungan”, Training
Center Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 21 Juli
2008.
Mubarak, Zakky,
2008, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Terintegrasi, Buku
Ajar II, Manusia, Akhlak, Budi Pekerti
dan Masyarakat.
Depok, Lembaga Penerbit FE UI.
Tim Penulis Buku
Pendidikan Anti Korupsi, 2011, Pendidikan
Anti
Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi,
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
Wenz, Peter S.,
2001, Environmental Ethics Today,
Oxford
University Press,
New York.
Zubair, Achmad
Charris, 1990, Kuliah Etika, Rajawali
Pers,
Jakarta.
Pengertian dari pancasila sebagai solusi persoalan bangsa dan negara
ReplyDelete