PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA
Ideologi
di negara-negara yang baru merdeka dan
sedang
berkembang, menurut Prof. W. Howard Wriggins,
berfungsi
sebagai sesuatu yang “confirm and deepen the
identity of their people”
(sesuatu yang memperkuat dan
memperdalam
identitas rakyatnya). Namun, ideologi di
negara-negara
tersebut, menurutnya, sekedar alat bagi
rezim-rezim
yang baru berkuasa untuk melanggengkan
kekuasaannya.
Ideologi ialah alat untuk mendefinisikan
aktivitas
politik yang berkuasa, atau untuk menjalankan
suatu
politik “cultural management”, suatu muslihat
manajemen
budaya (Abdulgani, 1979: 20). Oleh sebab itu,
kita
akan menemukan beberapa penyimpangan para
pelaksana
ideologi di dalam kehidupan di setiap negara.
Implikasinya
ideologi memiliki fungsi penting untuk
penegas
identitas bangsa atau untuk menciptakan rasa
kebersamaan
sebagai satu bangsa. Namun di sisi lain,
ideologi
rentan disalahgunakan oleh elit penguasa untuk
melanggengkan
kekuasaan.
Ideologi
itu, menurut Oesman dan Alfian (1990: 6),
berintikan
serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai
dasar
yang bersifat menyeluruh dan mendalam yang
dimiliki
dan dipegang oleh suatu masyarakat atau bangsa
sebagai
wawasan atau pandangan hidup bangsa mereka.
Ideologi
merupakan kerangka penyelenggaraan negara
untuk
mewujudkan cita-cita bangsa. Ideologi bangsa adalah
cara
pandang suatu bangsa dalam menyelenggarakan
negaranya.
Ideologi adalah suatu sistem nilai yang terdiri
atas
nilai dasar yang menjadi cita-cita dan nilai
instrumental
yang berfungsi sebagai metode atau cara
mewujudkan
cita-cita tersebut. Menurut Alfian (1990)
kekuatan
ideologi tergantung pada kualitas tiga dimensi
yang
terkandung di dalam dirinya.
Pertama,
adalah dimensi realita, bahwa nilai-nilai
dasar
yang terkandung dalam ideologi itu secara riil
berakar
dan hidup dalam masyarakat atau bangsanya,
terutama
karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari
budaya
dan pengalaman sejarahnya.
Kedua,
dimensi idealisme, bahwa nilai-nilai dasar
ideologi
tersebut mengandung idealisme, bukan lambungan
angan-angan,
yang memberi harapan tentang masa depan
yang
lebih baik melalui perwujudan atau pengalamannya
dalam
praktik kehidupan bersama mereka sehari-hari
dengan
berbagai dimensinya.
Ketiga,
dimensi fleksibilitas atau dimensi
5.
Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong
seseorang
untuk menjalankan kegiatan dan mencapai
tujuannya.
6.
Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk
memahami,
menghayati serta memolakan tingkah
lakunya
sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang
terkandung
di dalamnya (Oesman dan Alfian, 1990: 48).
pengembangan,
bahwa ideologi tersebut memiliki
keluwesan
yang memungkinkan dan bahkan merangsang
pengembangan
pemikiran-pemikiran baru yang relevan
tentang
dirinya, tanpa menghilangkan atau mengingkari
hakikat
atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai
dasarnya
(Oesman dan Alfian, 1990: 7-8).
Selain
itu, menurut Soerjanto Poespowardojo (1990),
ideologi
mempunyai beberapa fungsi, yaitu memberikan:
1.
Struktur kognitif, yaitu keseluruhan pengetahuan yang
didapat
merupakan landasan untuk memahami dan
menafsirkan
dunia dan kejadian-kejadian dalam alam
sekitranya.
2.
Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang
memberikan
makna serta menunjukkan tujuan dalam
kehidupan
manusia.
3.
Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan
bagi
seseorang untuk melangkah dan betindak.
4.
Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan
identitasnya.
Dalam konteks Indonesia,
Perhimpunan
Indonesia (PI) yang
dipimpin
oleh Drs. Moh. Hatta
(1926-1931)
di Belanda, sejak
1924
mulai merumuskan
konsepsi
ideologi politiknya,
bahwa
tujuan kemerdekaan
politik
haruslah didasarkan pada
empat
prinsip: persatuan
nasional,
solidaritas, nonkooperasi
dan
kemandirian (selfhelp) Sekitar
tahun
yang sama, Tan Malaka
mulai
menulis buku Naar de
Republiek Indonesia (Menuju
Republik
Indonesia). Dia percaya bahwa paham kedaulatan
rakyat
memiliki akar yang kuat dalam tradisi masyarakat
Nusantara.
Keterlibatannya dengan organisasi komunis
internasional
tidak melupakan kepekaannya untuk memperhitungkan kenyataan kenyataan nasional
dengan kesediaannya untuk menjalin kerjasama dengan unsurunsur revolusioner
lainnya. Dia pernah mengusulkan kepada Komintern (Komunisme Internasional) agar
komunisme di Indonesia harus bekerjasama dengan Pan- Islamisme karena,
menurutnya, kekuatan Islam di Indonesia tidak bisa diabaikan begitu saja.
Hampir bersamaan dengan itu, Tjokroaminoto mulai mengidealisasikan suatu
sintesis antara Islam, sosialisme dan demokrasi.
BPUPKI
pada tanggal 31 Mei
1945,
memberikan tiga pilihan
ideologi,
yaitu: (1) paham
indvidualisme,
(2) paham
kolektivisme
dan (3) paham
integralistik.
Beliau dengan sangat
individualisme
dan kolektivisme,
dan
menyarankan paham
integralistik
yang dinilai sesuai
dengan
semangat kekeluargaan
yang
berkembang di pedesaan.
Paham
integralistik merupakan kerangka konseptual
makro
dari apa yang sudah menjiwai rakyat kita di
kesatuan
masyarakat yang kecil-kecil itu (Moerdiono dalam
Oesman
dan Alfian (ed), 1990: 40).
Pancasila
sebagai ideologi Indonesia mempunyai ajaran-ajaran yang memang mengandung
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi lain. Ajaran yang dikandung
Pancasila bahkan dipuji oleh seorang filsuf Inggris, Bertrand Russel, yang
menyatakan bahwa Pancasila sebagai sintesis kreatif antara Declaration of American
Independence (yang merepresentasikan ideologi demokrasi kapitalis) dengan Manifesto
Komunis (yang mereprensentasikan ideologi komunis). Lebih dari itu, seorang
ahli sejarah, Rutgers, mengatakan, “Dari semua negara-negara Asia Tenggara,
Indonesia-lah yang dalam Konstitusinya, pertama-tama dan paling tegas melakukan
latar belakang psikologis yang sesungguhnya daripada revolusi melawan penjajah.
Dalam filsafat negaranya, yaitu Pancasila, dilukiskannya alasan-alasan secara
lebih mendalam dari revolusi-revolusi itu (Latif, 2011: 47). Dari pendapat
tersebut, Indonesia pun pernah merasakan berkembangnya nilai-nilai
ideologi-ideologi besar dunia berkembang dalam gerak tubuh pemerintahannya.
0 Response to "PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA."
Post a Comment